maaf email atau password anda salah

Satu Akun, Untuk Semua Akses

Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini

Satu Akun, Untuk Semua Akses


Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke [email protected].

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Satu Akun, Untuk Semua Akses

Masukan alamat email Anda, untuk mereset password

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link reset password melalui email ke [email protected].

Ubah No. Telepon

Ubah Kata Sandi

Topik Favorit

Hapus Berita

Apakah Anda yakin akan menghapus berita?

Ubah Data Diri

Jenis Kelamin

Setelah bergabung di Tempo pada 2010, lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro ini meliput isu hukum selama empat tahun. Berikutnya, ia banyak menulis isu pemberdayaan sosial dan gender di majalah Tempo English, dan kini sebagai Redaktur Seni di majalah Tempo, yang banyak mengulas film dan kesenian. Pemenang Lomba Kritik Film Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2019 dan Lomba Penulisan BPJS Kesehatan 2013.

Konten

Otig Pakis di rumahnya di Citayam, Jawa Barat, 13 Desember 2021/TEMPO/ Gunawan Wicaksono
Adegan dalam film Kadet 1947.
Gambar figur manusia sedang mendayung berdiri di Gua Kalibu, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Adhi Agus Oktaviana
Basran Burhan mengamati gambar dinding perburuan anoa di Leang Bulu Sipong 4,  di gunung Bulu Leang, Sulawesi Selatan. Adhi Agus Oktaviana
Maudy Koesnaedi sebagai Bu Broto dalam Losmen Bu Broto. Paragon Pictures
Tatiek Maliyati di Studio I TVRI, Jakarta, Mei 1983. Dok. TEMPO/Ilham Soenharjo
Repro foto Basuki Resobowo dalam Pameran Hasil Lokakarya Kurasi Kurator Muda 2021: B. Resobowo di Galeri Nasional, Jakarta, 3 November 2021. TEMPO/M Taufan Rengganis
Basuki Resobowo bersama karya-karyanya di apartemennya di jalan Riouw, Amsterdam, pada 1990-an. Mutia Samoen
Caitlin North Lewis dan Nirina Zubir dalam Paranoia. Miles Film
Abdul Malik Karim Amrullah atau Hamka di Jakarta, 1974. Dok.TEMPO/Syahril Wahab
Tangkapan layar font aksara nusantara di halaman situs aksaradinusantara.com.
Proses laminasi naskah kuno dengan pelapis khusus agar tidak rusak, di Museum Sri Baduga, Bandung, Jawa Barat. TEMPO/Prima Mulia
Game Red Light Green Light dalam Squid Game. Netflix
Umi Sardjono. repositori.dpr.go.id
Hutan Jatirasa karya perupa Susilo Budi Purwanto. Youtube/Jogja Archive
Soeharto (kiri) dan David Jenkins di Rawamangun, Jakarta, 1970. Foto: Burt Glinn/Dok. David Jenkins
David Jenkins, wartawan Sydney Morning Herald dan penulis buku, saat wawancara di kantor Tempo, Jakarta, Juli 2010. Dok. TEMPO/Jacky Rachmansyah
Utami Atasia Ishii tengah mendemonstrasikan instalasi "How Do You Taste" yang meramu sayuran dan rempah dengan teknologi, di Magelang, Jawa Tengah, 10 September 2021 . Dok. Pribadi
Pameran seni rupa Mukti Negeriku di Museum Tumurun, Solo, Jawa Tengah, 10 September 2021. 
TEMPO/Bram Selo
Anak-anak anggota kelompok umur pembibitan dan pembinaan berlatih di lapangan bulu tangkis area gedung latihan Perkumpulan Bulu Tangkis (PB) Suryanaga, Surabaya. TEMPO/Kukuh S Wibowo
Genderuwall 20cm x 6cm x 22,5cm karya William Davis. Dok. MOT
Personil band Voice of Baceprot (dari kiri) Firdda Marsya Kurnia, Euis Siti Aisah, dan Widi Rahmawati, seusai sesi latihan di Jakarta, 8 April 2021. AFP/Bay Ismoyo
Taufik Ikram jamil (kiri) dan Sutardji Calzoum Bachri di depan rumah Sutardji. Dok. Pribadi
Sutardji Calzoum Bachri di Taman Ismail Marzuki Jakarta, 1983. Dok. TEMPO/Ali Said
Eito Kawahara dalam Kotaro Lives Alone. Netflix
Adegan dalam film Titane.
Acara musik punk di GOR Saparua Bandung. Film Gelora: Magnumentary of Gedung Saparua

Gelanggang Olahraga: Riwayat Musik Bawah Tanah

Pada 1970-1990-an, selain menjadi arena olahraga, gelanggang olahraga (gelora) di berbagai kota menjadi ajang pentas musik. Keberadaan gelora malah banyak melahirkan musikus berbakat daripada olahragawan. Gelora Saparua, Bandung, misalnya, sempat menjadi tempat komunitas musik bawah tanah (underground) yang melahirkan banyak band pada 1990-an. Mereka di antaranya Burgerkill, Puppen, Jasad, Koil, PAS Band, Pure Saturday, dan Dajjal, yang kini “besar” dan menjadi pionir sejumlah kelompok musik anyar.

Di luar Bandung, sejumlah gelora menyimpan kenangan akan kejayaan grup musik lokal. Ada Gelora Manahan (Solo), Bulungan (Jakarta), juga Pulosari (Malang). Sayangnya, sebagian gelora itu sudah dirobohkan. Ada pula yang masih berdiri, tapi tak lagi menghidupi kegiatan seni. Sepatah memori kejayaan gelora sebagai wadah para seniman terekam dalam film dokumenter tentang Gelora Saparua, yang tayang pada Juni lalu di sejumlah kanal streaming. Karya sutradara Alvin Yunata itu melahirkan pertanyaan: perlukah melahirkan kembali gelora sebagai kawah kreativitas anak muda di tengah zaman yang serba digital? Simak reportasenya.

Selingan Edisi : Sabtu, 3 Juli 2021

Kevin Hart dalam Fatherhood. Netflix
Papan iklan Blackpink yang dipasang oleh penyedia layanan streaming musik Spotify di New York, Amerika Serikat, pada 2020. Twitter @BLACKPINK
Marzuki Darusman. Dok. Matra/Tempo
Marzuki Darusman saat menjabat Jaksa Agung di dalam mobilnya, Jakarta April 2000 Dok Tempo/Bernard Chaniago
Tjoet Nya Dhien 2021. PT Kanta Indah Film
Petugas berjalan di ruang utama usai peresmian renovasi Masjid Istiqlal, Jakarta, 7 Januari 2021. presidenri.go.id

Kontroversi Paduan Suara Asmaul Husna dan ‘New Istiqlal’

Lantunan Asmaul Husna dari kelompok paduan suara Jakarta Youth Choir (JYC) di Masjid Istiqlal, Jakarta, menggegerkan media sosial pada pertengahan Mei lalu. Kor itu dianggap menodai masjid. Narasi yang berkembang juga menyudutkan JYC, yang dianggap memberi sentuhan gereja terhadap masjid rancangan Friedrich Silaban itu. Namun betulkah begitu? Sejumlah ulama menganggap alunan Asmaul Husna oleh JYC justru memperkuat peran masjid sebagai pusat peradaban dan kebudayaan Islam. Citra ini sejatinya diharapkan muncul pada Istiqlal setelah direnovasi untuk pertama kalinya semenjak 42 tahun lalu.

Selingan Edisi : Sabtu, 22 Mei 2021

Kartun bertema "Solidaritas Untuk Myanmar" karya Muhammad Nasir dalam pameran daring The ASEAN Human Rights Cartoon Exhibition.

Tak Berhenti Menyengat: Suara Kartun Asia Tenggara Kini

Perkara kartun kerap melentikkan kontroversi di berbagai negara. Kritik yang dikemas jenaka pun kadang membuat orang tersentil. Kita tentu ingat geger kartun Nabi Muhammad dalam mingguan Charlie Hebdo yang membuat kantor media Prancis itu ditembaki. Belasan orang meninggal, termasuk kartunis media itu. Jauh sebelum itu, pada 2005, media Denmark Jyllands-Posten menerbitkan kartun yang sama. Kondisi di Asia Tenggara tak jauh berbeda. Tiga tahun lalu, kantor Tempo di Palmerah, Jakarta, disambangi ratusan orang dari Front Pembela Islam yang memprotes kartun di majalah ini.

Demokrasi yang tumbuh di ASEAN tak dibarengi dengan kebebasan para kartunisnya. Sebagian seniman gambar diringkus polisi, sedangkan yang lain berkarya dalam kecemasan akan persekusi. Menandai kondisi ini, kartunis politik Malaysia, Zunar, dan organisasi nirlaba Hujah Ehsan menggelar pameran daring The ASEAN Human Rights Cartoon Exhibition pada 3-30 Mei 2021. Bertema “Hak Asasi di Negeri Sendiri”, pameran itu menampilkan 100 kartun kritis karya 37 kartunis dari 5 negara: Malaysia, Indonesia, Thailand, Filipina, dan Myanmar.

Selingan Edisi : Sabtu, 15 Mei 2021

Joe Taslim dan Hiroyuki Sanada dalam Mortal Kombat. 2019 Warner Bros. Entertainment Inc
Sugiarti Siswadi (tengah) dalam sebuah sesi Konferensi Komite Eksekutif Pengarang Asia-Afrika, Juli 1963. Koleksi Oey Hay Djoen/ISSI
Widjajanti saat penandatanganan buku Bukan Takdir, di Hotel Tentrem Yogyakarta, 15 Maret lalu. Dok. Pribadi

Prasangka terhadap Orang Tionghoa Bukanlah Takdir

Setelah 12 tahun, buku karya Widjajanti W. Dharmowijono tentang pencitraan orang Cina dalam novel Indo-Belanda bertarikh 1880-1950 akhirnya dirilis Penerbit Ombak pada 5 April 2021. Perilisan ini disyukuri Inge—panggilan akrab Widjajanti—karena dulu naskah yang bersumber dari disertasinya di Universiteit van Amsterdam itu pernah ditolak penerbit Belanda. Namun Inge tetap berkukuh pada keinginannya semula: bukunya harus terbit dalam bahasa Indonesia dan dibaca khalayak negeri ini.

Selingan Edisi : Sabtu, 17 April 2021

Umbu Landu Paranggi di Museum Lukisan Sidik Jari di Denpasar, Bali./Dok. Sahaja Sehati

Perjamuan Terakhir Sang Presiden Malioboro

Penyair Umbu Landu Paranggi wafat pada Selasa dinihari, 6 April lalu. Pria kelahiran Sumba Timur itu menutup usia di Rumah Sakit Bali Mandara, Sanur, Bali, dalam usia 77 tahun. Kepergiannya meninggalkan duka bagi para murid dan penggemar syair-syair etniknya. Umbu adalah mentor bagi banyak seniman di Jawa dan Bali. Dia pernah "menggelandang" di Yogyakarta dan menghidupkan komunitas seniman Persada Studi Klub yang bermarkas di Malioboro. Setelah pindah ke Bali pun dia teguh menjadi guru puisi bagi penyair-penyair muda yang bernaung di komunitas puisi. Walau menggembleng banyak seniman, Umbu memilih jalan sunyi. Dia menjauhi sorotan dan mengasingkan diri dari hiruk-pikuk dunia seni. 

 

Selingan Edisi : Sabtu, 10 April 2021

Kho Ping Hoo atau Asmaraman Sukowati membaca buku di rumahnya, di Solo, Jawa Tengah, 1977. Dok. TEMPO/Kastoyo Ramelan

Jurus Fantasi, Peta Cina, dan Cerita Silat Kho Ping Hoo

Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo pernah berjaya pada zamannya. Saat kebanyakan penulis cerita silat Indonesia menyadur kisah pengarang Cina pada 1950-an, Kho Ping Hoo menyusun sendiri lakonnya. Lahir di Sragen, 95 tahun lalu, Kho Ping Hoo muda mulai menulis karena kondisi ekonomi. Sebagai pengarang ia produktif. Tercatat ada ratusan judul yang ia lahirkan, sebagian di antaranya berlatar Cina dan sisanya Indonesia. Bu Kek Siansu menjadi salah satu yang fenomenal. Terdiri atas 24 jilid, buku itu masih menyihir penggemarnya hingga kini karena plot ceritanya yang menarik dan sarat filosofi. Karyanya yang lain juga populer, walau sejumlah muatan sejarah dan geografis tentang Cina di bukunya disebut-sebut meleset dari fakta. Namun para pembaca “mengampuni” hal itu karena bagaimanapun tulisan Kho Ping Hoo hanyalah fiksi. Untuk mengenang lelaki yang wafat pada 1994 itu, Roemah Bhinneka pada 15 Maret 2021 menggelar diskusi secara daring. Dalam diskusi, lahir gagasan untuk memperkenalkan lagi Kho Ping Hoo kepada para pembaca belia.

Selingan Edisi : Sabtu, 3 April 2021

Pentas Teater Nara bertajuk Sade Bero, dalam Festival Teater Tubuh digelar Teater Payung Hitam. Dokumentasi Teater Nara

Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan