maaf email atau password anda salah
Satu Akun, Untuk Semua Akses
Satu Akun, Untuk Semua Akses
Konfirmasi Email
Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.
Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo
Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang
Satu Akun, Untuk Semua Akses
Masukan alamat email Anda, untuk mereset password
Konfirmasi Email
Kami telah mengirimkan link reset password melalui email ke rudihamdani@gmail.com.
Ubah No. Telepon
Ubah Kata Sandi
Topik Favorit
Hapus Berita
Apakah Anda yakin akan menghapus berita?
Ubah Data Diri
Jenis Kelamin
KISAH hidup Yusuf Bilyarta Mangunwijaya atau Romo Mangun difilmkan dalam bentuk dokumenter drama. Sebab, tak banyak footage tentang pastor kelahiran Ambarawa, Kabupaten Semarang, 1929, yang dikenal sebagai aktivis, arsitek, novelis, sekaligus kolumnis yang produktif tersebut. Selama sekitar 90 menit, film arahan Sergius Sutanto ini menggabungkan fragmen penting dalam kehidupan Romo Mangun, dari jejak arsitektur dan perlawanannya di Kali Code, Yogyakarta, hingga perjuangannya membela warga dalam pembangunan Waduk Kedung Ombo di Jawa Tengah, juga kilas balik keterlibatannya sebagai anggota Tentara Pelajar dan Tentara Keamanan Rakyat. Sejumlah peristiwa traumatis saat menjadi tentara disebut sebagai alasan Romo Mangun begitu gigih memperjuangkan kemanusiaan. Tempo melaporkan dari Yogyakarta.
Dalam tahun-tahun belakangan, genre komedi jarang dinilai serius dalam perhelatan penghargaan sinema. Kemunculan film komedi yang digarap baik sekaligus berupaya menyampaikan sesuatu hanya ada di masa lalu. Dalam Mekah I'm Coming, kita dapat menemukan kembali apa yang sudah lama hilang itu.
Nano Riantiarno mampu memainkan karakter seorang lelaki tua Cina dengan natural. Sebagai sosok Babah, Nano sanggup menyediakan ruang bagi perubahan karakter tokoh lain dengan sangat bagus. Seringnya Nano mementaskan naskah klasik Cina dalam teater membuat dia mampu memahami karakter dan persoalan keluarga yang dihadapi Babah.
Dea Panendra menghidupkan berbagai lapisan karakter saat memerankan Khansa dalam film Jakarta, City of Dreamers. Dia menjadi pengguna narkotik, perias mayat, kidal, dan harus pula menaklukkan suatu adegan menantang. Keberhasilan Dea menampilkan seni peran yang menguji batas kemampuannya membuat dia dinobatkan sebagai Aktris Pendukung Pilihan Tempo 2020.
Pandemi Covid-19 menjegal laju sinema Indonesia yang sedang bergairah beberapa tahun terakhir. Tren peningkatan jumlah produk film, penonton, dan layar teater harus terhenti tiba-tiba tatkala bioskop mesti tutup pada akhir Maret lalu. Sempat gagap beradaptasi dengan situasi pandemi, ekosistem film perlahan-lahan dapat menemukan dan menciptakan jalur-jalur baru untuk menjumpai penonton. Guna mengapresiasi para pekerja film yang terus berupaya menjaga api sinema menyala di tengah paceklik, tradisi Film Pilihan Tempo hadir kembali. Selamat membaca.
Kegagalan film komedi umumnya terjadi karena humor yang dilemparkan tak berlandasan dan kerunutan cerita tergadaikan demi mengedepankan tonjokan-tonjokan pemancing tawa. Mekah I'm Coming berhasil menghindari lubang itu lewat skenario yang utuh, logis, dan terang sebab-akibatnya. Nyaris tak ada adegan yang sia-sia.
SATU lagi karya sineas muda Indonesia mendapat penghargaan internasional. Film dokumenter You and I besutan sutradara Fanny Chotimah asal Solo, Jawa Tengah, dinobatkan sebagai film terbaik dengan meraih Asian Perspective Award dalam 12th DMZ International Documentary Film Festival di Korea Selatan. Fanny merekam persahabatan dua perempuan, Kaminah dan Kusdalini, yang merupakan mantan tahanan politik peristiwa 1965. Setelah dibebaskan, mereka ditolak keluarga sehingga memutuskan tinggal bersama. Film ini merekam hari-hari terakhir kehidupan mereka yang masih diwarnai stigma.
Ini bukan pertama kalinya sineas membuat film dokumenter tentang peristiwa 1965 yang menjadi lawan narasi Orde Baru. Namun munculnya sineas-sineas muda perempuan memberikan perspektif baru dalam melihat sejarah. Sebelum You and I, Kartika Pratiwi membuat film dokumenter animasi berjudul A Daughter's Memory. Film ini mengangkat kisah Svetlana Dayani, putri Njoto, salah seorang pemimpin Partai Komunis Indonesia. Berangkat dari kedua film ini, Tempo merekonstruksi kehidupan eks tapol perempuan dan bagaimana stigma yang mereka hadapi pada masa sekarang. Juga bagaimana sineas muda memaknai kembali sejarah yang simpang-siur di sekitar kita.
ANGKA 20 juta penayangan yang diraih Tilik membuka banyak kemungkinan untuk sebuah karya film pendek. Mulai tumbuh pada awal 1970-an, film pendek sering tak mendapat sorotan publik dan jamak dipandang sebagai batu loncatan sebelum sineas mengerjakan proyek panjang “sebenarnya”. Padahal banyak sineas yang mendapat piala utama dalam berbagai festival bergengsi dunia dengan karya singkatnya.
Sejumlah persoalan memperlambat proses produksi dan kesempatan film pendek bertemu dengan penonton. Momentum yang diciptakan Tilik patut dimanfaatkan untuk menyuburkan ekosistem perfilman pendek kita.
Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.