Enak Dibaca dan Perlu
BerlanggananDapatkan diskon 45% di setiap pembelian paket berlangganan TEMPO.
![]() |
Seno Joko SuyonoMenulis artikel kebudayaan dan seni di majalah Tempo. Pernah kuliah di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Pada 2011 mendirikan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) dan menjadi kuratornya sampai sekarang. Pengarang novel Tak Ada Santo di Sirkus (2010) dan Kuil di Dasar Laut (2014) serta penulis buku Tubuh yang Rasis (2002) yang menelaah pemikiran Michel Foucault terhadap pembentukan diri kelas menengah Eropa. |
PARA pekerja renovasi Sarinah tahun lalu “menemukan” relief zaman Sukarno berukuran 3 x 12 meter “disembunyikan” di ruang instalasi listrik gedung. Relief itu menggambarkan suasana pasar lama: ibu-ibu berkebaya bersama barang jajanan dan para lelaki bercaping membawa pikulan. Relief itu menarik karena sebagian berupa relief patung tiga dimensional yang menonjol.
Tak ada arsip mengenai relief itu. Muncul spekulasi dari para pengamat seni rupa tentang siapa pembuat relief dan mengapa karya tersebut bisa dibuang di ruang genset yang pengap di Sarinah. Apakah relief itu sengaja dilenyapkan Orde Baru karena dianggap “kekiri-kirian” atau pihak Sarinah sendiri di masa lampau yang menganggap relief yang menggambarkan masyarakat pedesaan tersebut tidak cocok dengan modernisasi Sarinah?
Tempo mewawancarai anak-anak para perupa masyhur dari 1960-an untuk menggali kemungkinan-kemungkinan mengenai siapa pembuat relief tersebut. Tempo juga mewawancarai Menteri Tenaga Kerja zaman Orde Baru, Abdul Latief, yang pada awal pendirian Sarinah terlibat sebagai karyawan.
Teater Koma mementaskan bagian ketiga trilogi Gemintang. Rangga Riantiarno secara kuat memainkan seorang astronom sepuh yang terombang-ambingkan cinta.
Di usianya yang sepuh, 82 tahun, Ipe Ma’aruf mengadakan pameran tunggal di Balai Budaya Jakarta. Di masa pandemi ini ia banyak membuat lukisan-lukisan lanskap warna-warni.
Penari Rusini menyajikan karya Bedhaya Tirta Teja di pendapa Taman Budaya Surakarta dan disiarkan secara streaming. Usia para penarinya kebanyakan di atas 60 tahun. Sebuah film dokumenter tentang Rusini garapan Fawarti Gendra Nata Utami disajikan.
Faiza Mardzoeki menerjemahkan naskah Lene Therese Teigen, dramawan feminis Norwegia, mengenai kesaksian warga Uruguay yang pernah disiksa di zaman diktator militer. Dipentaskan lima sutradara perempuan secara daring dengan gaya beragam.
Para pemerhati bahasa mengatakan kamus kita bias gender. Sebab, semua sinonim kata pelacur mengarah kepada perempuan. Hanya satu untuk pria, yaitu gigolo. Padahal kata melacur bersifat netral, bisa dilakukan baik oleh laki-laki maupun perempuan.
Indonesia Dance Festival digelar online. Menonjolkan koreografer muda. Bahkan mengajak masyarakat biasa menyajikan tariannya dalam pembukaan. Pesan yang hendak disampaikan, yakni tari bisa menjadi jalan penyembuhan saat pandemi, kurang terasa.
Ehipassiko Foundation menerjemahkan lima seri buku relief Borobudur dokumentasi Biku Anandajoti. Memuat foto relief secara lengkap beserta keterangan adegan. Sebuah seri yang memudahkan siapa pun dalam meneliti Borobudur.
Happy Salma membawakan monolog online. Memerankan Suciwati yang setelah 16 tahun kematian suaminya, Munir, tiba-tiba mengenang seluruh tragedi yang dialami keluarganya di sebuah malam.
Ugo Untoro menggambar dengan kapur di papan tulis hitam. Ia menghapus gambar yang sudah jadi, lantas menggambar lagi sesuatu yang baru. Begitu terus hingga 10 jam. Ia memberinya judul Homage to the Blackboards.
Mural karya Lee Man Fong, Margasatwa dan Puspita Indonesia, yang menjadi koleksi Hotel Indonesia Kempinski mengalami proses restorasi. Lukisan terbesar yang pernah dibuat Lee Man Fong ini digarap pada 1962 atas perintah Presiden Sukarno. Lukisan ini bertema keberagaman hayati Indonesia. Tak banyak yang tahu bahwa mural ini memiliki master berupa dua lukisan cat air yang juga dibuat Lee Man Fong. Ikuti kisah tentang lukisan ini dan lukisan lain yang menjadi koleksi Hotel Indonesia Kempinski.
Sektor permakaman dianggap sebagai zona inti penggalian. Terdapat temuan-temuan lepas, tapi belum bisa dipastikan apa tepatnya bangunan yang dulu berada di situs itu.
DI masa pandemi ini, selama sebulan, sejak 4 Agustus sampai 9 September lalu, Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPPCB) Jawa Timur melakukan ekskavasi skala besar di Situs Kumitir, dekat Trowulan, Mojokerto. Penggalian yang melibatkan puluhan pekerja ini menindaklanjuti ekskavasi tahun lalu, yang berhasil menemukan sebuah struktur talut panjang di Kumitir.
Ekskavasi ini mengundang kegairahan baru atas penelitian Majapahit. Meski penggalian baru menyingkap 30 persen dari luas keseluruhan situs, berbagai tafsir muncul menyusul kerja keras BPCB Jawa Timur ini. Tempat apakah situs Kumitir? Apakah pendarmaan? Apakah sebuah kota kecil? Apakah kedaton? Mengapa bisa terpendam? Mengapa minim temuan artefak? Apakah bencana alam atau ulah manusia yang menghancurkan kawasan situs? Tempo melaporkannya.
Titimangsa Foundation memproduksi sebuah drama keluarga. Seluruh penanganan pentas sebagaimana pertunjukan teater di masa normal. Disajikan secara daring berbayar. Antusiasme penonton lumayan.
Sapardi Djoko Damono adalah penerjemah yang ulung. Ia berprinsip terjemahannya merupakan karya Indonesia, bukan sekadar karya asing dalam bahasa Indonesia.
Sebuah patung Sukarno hasil kolaborasi Ridwan Kamil dan Dolorosa Sinaga berdiri di ibu kota Aljazair. Sukarno sangat dihormati di Aljazair karena perannya mendukung kemerdekaan negara itu. Pada 1955, Sukarno mengundang para pejuang kemerdekaan Aljazair datang ke Konferensi Asia-Afrika di Bandung. Konferensi yang berpengaruh bagi politikus dan aktivis Front Pembebasan Nasional (FLN), yang menentang kolonialisme Prancis di Aljazair.
Sedianya patung itu diresmikan pada 6 Juni 2020, bertepatan dengan peringatan kelahiran Sukarno. Namun, karena pandemi, peresmian diundur. Tempo menuliskan kisah di balik patung Sukarno di Aljazair itu. Tulisan dilengkapi esai Agus Dermawan T., yang menulis tentang persahabatan Sukarno dengan pematung berdarah Jepang terkenal, Isamu Noguchi. Dari Noguchi-lah Sukarno sadar akan pentingnya patung publik.
Ditunggu Dogot karya Sapardi Joko Damono dirayakan di Institut Kesenian Jakarta. Sekolah Pascasarjana, S-1, dan alumnus mementaskannya secara daring.
Cara engraver Eropa menggambarkan orang Nusantara dalam litografi sering bias dan cenderung stereotipe.
Sebuah buku langka mengenai litografi di zaman kolonial terbit. Ditulis sejarawan Universiteit Leiden, Simon C. Kemper, berdasarkan koleksi print milik Kartini Collection, Jakarta. Kemper mampu menyuguhkan analisis mendalam. Ternyata, di balik gambar-gambar indah dan eksotis litografi, banyak cerita menarik yang berkelindan dengan persoalan politik, sikap romantisisme, sikap saintifik, hingga prasangka orientalisme.
Radhar Panca Dahana membacakan sajak-sajak spiritual-nya di Gedung Kesenian Jakarta. Mencoba mengemas pentas dalam bentuk kolaborasi multimedia dan musik.
Dapatkan diskon 45% di setiap pembelian paket berlangganan TEMPO.
Anda memiliki 1 free artikel untuk minggu ini. Dapatkan
4 artikel gratis setelah Register.