maaf email atau password anda salah
Satu Akun, Untuk Semua Akses
Satu Akun, Untuk Semua Akses
Konfirmasi Email
Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.
Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo
Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang
Satu Akun, Untuk Semua Akses
Masukan alamat email Anda, untuk mereset password
Konfirmasi Email
Kami telah mengirimkan link reset password melalui email ke rudihamdani@gmail.com.
Ubah No. Telepon
Ubah Kata Sandi
Topik Favorit
Hapus Berita
Apakah Anda yakin akan menghapus berita?
Ubah Data Diri
Jenis Kelamin
SATU lagi karya sineas muda Indonesia mendapat penghargaan internasional. Film dokumenter You and I besutan sutradara Fanny Chotimah asal Solo, Jawa Tengah, dinobatkan sebagai film terbaik dengan meraih Asian Perspective Award dalam 12th DMZ International Documentary Film Festival di Korea Selatan. Fanny merekam persahabatan dua perempuan, Kaminah dan Kusdalini, yang merupakan mantan tahanan politik peristiwa 1965. Setelah dibebaskan, mereka ditolak keluarga sehingga memutuskan tinggal bersama. Film ini merekam hari-hari terakhir kehidupan mereka yang masih diwarnai stigma.
Ini bukan pertama kalinya sineas membuat film dokumenter tentang peristiwa 1965 yang menjadi lawan narasi Orde Baru. Namun munculnya sineas-sineas muda perempuan memberikan perspektif baru dalam melihat sejarah. Sebelum You and I, Kartika Pratiwi membuat film dokumenter animasi berjudul A Daughter's Memory. Film ini mengangkat kisah Svetlana Dayani, putri Njoto, salah seorang pemimpin Partai Komunis Indonesia. Berangkat dari kedua film ini, Tempo merekonstruksi kehidupan eks tapol perempuan dan bagaimana stigma yang mereka hadapi pada masa sekarang. Juga bagaimana sineas muda memaknai kembali sejarah yang simpang-siur di sekitar kita.
Mural karya Lee Man Fong, Margasatwa dan Puspita Indonesia, yang menjadi koleksi Hotel Indonesia Kempinski mengalami proses restorasi. Lukisan terbesar yang pernah dibuat Lee Man Fong ini digarap pada 1962 atas perintah Presiden Sukarno. Lukisan ini bertema keberagaman hayati Indonesia. Tak banyak yang tahu bahwa mural ini memiliki master berupa dua lukisan cat air yang juga dibuat Lee Man Fong. Ikuti kisah tentang lukisan ini dan lukisan lain yang menjadi koleksi Hotel Indonesia Kempinski.
DI tengah polemik peredaran minuman beralkohol alias minol, produk lokal justru melejit dengan olahan dan kemasan profesional. Menyusul Cap Tikus, minuman tradisional beralkohol dari Minahasa, Sulawesi Selatan, awal tahun ini muncul Sophia, dari moke dan sopi khas Nusa Tenggara Timur. Beredarnya dua merek itu disokong regulasi pemerintah daerah yang pro-pemberdayaan ekonomi warga. Seperti halnya Bali, yang punya beragam minol, baik yang tradisional seperti arak maupun wine lokal. Sejumlah merek minuman keras itu tak hanya mengandalkan penjualan langsung, tapi juga memanfaatkan media sosial dan pasar daring. Strategi itu pula yang membuat minol yang diproduksi di Semarang, Vibe, bisa meluaskan pasar. Penjualan liquor ini juga disokong capaian Vibe, yang meraih penghargaan di kompetisi level Asia hingga dunia. Tempo melaporkan dari Bali dan NTT.
DI masa pandemi ini, selama sebulan, sejak 4 Agustus sampai 9 September lalu, Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPPCB) Jawa Timur melakukan ekskavasi skala besar di Situs Kumitir, dekat Trowulan, Mojokerto. Penggalian yang melibatkan puluhan pekerja ini menindaklanjuti ekskavasi tahun lalu, yang berhasil menemukan sebuah struktur talut panjang di Kumitir.
Ekskavasi ini mengundang kegairahan baru atas penelitian Majapahit. Meski penggalian baru menyingkap 30 persen dari luas keseluruhan situs, berbagai tafsir muncul menyusul kerja keras BPCB Jawa Timur ini. Tempat apakah situs Kumitir? Apakah pendarmaan? Apakah sebuah kota kecil? Apakah kedaton? Mengapa bisa terpendam? Mengapa minim temuan artefak? Apakah bencana alam atau ulah manusia yang menghancurkan kawasan situs? Tempo melaporkannya.
ANGKA 20 juta penayangan yang diraih Tilik membuka banyak kemungkinan untuk sebuah karya film pendek. Mulai tumbuh pada awal 1970-an, film pendek sering tak mendapat sorotan publik dan jamak dipandang sebagai batu loncatan sebelum sineas mengerjakan proyek panjang “sebenarnya”. Padahal banyak sineas yang mendapat piala utama dalam berbagai festival bergengsi dunia dengan karya singkatnya.
Sejumlah persoalan memperlambat proses produksi dan kesempatan film pendek bertemu dengan penonton. Momentum yang diciptakan Tilik patut dimanfaatkan untuk menyuburkan ekosistem perfilman pendek kita.
SEKITAR 70 tahun lalu, Toko Buku Liong adalah permata di kawasan Kota Lama Semarang, tepatnya di seberang Gereja Blenduk. Sejumlah komik legendaris diproduksi kios itu, di antaranya Wiro, Anak Rimba Indonesia; dan Dagelan Petruk Gareng. Toko Buku Liong dikelola Lie Djoen Liem dan Ong King Nio, pasangan keturunan Cina yang tinggal di Semarang. Namun ketidakpastian kondisi politik membuat keluarga Lie memilih hijrah ke Brasil pada 1958 dan menetap di sana, meninggalkan kios yang hingga kini mangkrak, tak jelas peruntukannya.
Baru pada 2019 cucu Lie, Daniel Lie, datang ke Indonesia. Ia menyusuri lagi sejarah keluarganya dan Toko Buku Liong bersama kurator asal Rumania, Adelina Luft. Keduanya menggarap proyek kolaboratif: pameran daring Toko Buku Liong. Pameran itu dibagi ke dalam empat babak yang dirilis saban pekan selama Agustus 2020. Dalam situs virtual pameran, bangunan yang secara fisik sudah tiada itu dihidupkan kembali. Tempo melaporkan dari Semarang dan Yogyakarta.
Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.