Transparansi Seleksi Hakim Agung
DPR menolak calon hakim agung dan hakim HAM ad hoc yang diajukan Komisi Yudisial. Perlu ada transparansi dalam proses pemilihan.
KEPUTUSAN Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat, yang membidangi hukum, menolak semua calon hakim agung dan hakim ad hoc hak asasi manusia yang diajukan Komisi Yudisial sangat janggal. Dewan hanya mencari-cari alasan untuk menyingkirkan kandidat yang tak sesuai dengan kepentingan politik mereka.
Dalih DPR menolak para calon hakim di Mahkamah Agung dengan meminta dua calon hakim agung kamar pajak harus berpengalaman menjadi hakim pajak selama 20 tahun jelas mengada-ada. Ketentuan itu kemudian dipakai untuk menolak 12 kandidat yang terdiri atas sembilan calon hakim agung dan tiga hakim ad hoc HAM.
Syarat pengalaman 20 tahun memang tercantum dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung. Namun syarat pengalaman sepanjang itu untuk menjadi hakim agung kamar pajak mustahil dipenuhi saat ini karena pengadilan pajak baru didirikan pada 2002. Selain itu, hakim pajak biasanya diambil dari pegawai senior Kementerian Keuangan. Apabila mereka harus menunggu selama 20 tahun untuk menjadi hakim agung, kandidat pasti sudah memasuki masa pensiun ketika pencalonan.
Dalam soal syarat pengalaman hakim agung, Komisi bidang Hukum DPR juga tak konsisten. Mereka pernah menerima calon hakim agung yang tak memenuhi syarat pengalaman karier. Ada empat hakim agung kamar militer yang tetap diloloskan DPR kendati belum menjadi hakim selama 20 tahun.
Pemilihan hakim agung melalui DPR memang tak terhindarkan. Di Amerika Serikat, hakim Mahkamah Agung dinominasikan presiden dan harus juga memperoleh konfirmasi dari Senat. Keterlibatan lembaga politik, seperti DPR di Indonesia atau presiden dan Senat di Amerika, membuka peluang terjadinya intervensi politik terhadap kekuasaan kehakiman. Keputusan DPR dalam menentukan hakim agung tak akan lepas dari motif politik mereka untuk memilih kandidat yang mau membuat putusan sesuai dengan kepentingan politik tertentu ketika dibutuhkan.
Munculnya kecurigaan itu wajar karena, selama pemerintahan Joko Widodo, DPR dan lembaga kehakiman menjadi aktor paling aktif dalam praktik legalisme otokratik—pembuatan peraturan tanpa diskusi dan partisipasi publik demi melayani kepentingan elite. Mahkamah Agung, misalnya, sempat membuka jalan bagi anak bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep, yang belum cukup umur untuk menjadi calon kepala daerah dengan mengubah syarat usia.
Proses politik pemilihan hakim agung di DPR selama ini berlangsung tertutup. Penolakan terhadap calon yang diajukan Komisi Yudisial tak pernah disertai argumentasi dan indikator yang jelas, bahkan bertentangan dengan keputusan yang dibuat DPR sebelumnya. Proses seleksi yang tertutup hanya akan menghasilkan hakim agung yang tak progresif dan korup.
Mekanisme pemilihan hakim agung mesti diubah. Satu-satunya jalan adalah membuat proses seleksi calon hakim agung menjadi terbuka dan transparan. Komisi bidang Hukum DPR punya kewajiban menjelaskan kepada publik proses pemilihan dan alasan mereka menolak ataupun menerima calon hakim agung yang diajukan Komisi Yudisial.