Paus dan Ironi Pemimpin Kita
Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia mendapat sambutan antusias. Perjalanan sederhana pemimpin agama dan pejuang keadilan.
The most important qualification for being leader is not wanting to be a leader.
~ Plato
PAUS Fransiskus telah menjadi model seorang pemimpin yang memilih hidup sederhana meski punya kesempatan mendapat keistimewaan. Sebagai pemimpin Katolik dunia dengan jumlah pengikut yang sangat besar, dia juga berani mengambil sikap tegas dengan keberpihakan kepada demokrasi, lingkungan hidup, dan keadilan sosial.
Lahir di Buenos Aires, Argentina, dengan nama Jorge Mario Bergoglio pada 17 Desember 1936, Fransiskus adalah paus ke-266 Gereja Katolik Roma. Terpilih setelah Paus Benediktus XVI mengundurkan diri, dia menjadi paus pertama non-Eropa dalam satu milenium terakhir.
Kepala negara Vatikan itu melawat ke Indonesia pada 3-6 September 2024 sebagai rangkaian Perjalanan Apostolik sebelum selanjutnya mengunjungi Papua Nugini, Timor Leste, dan Singapura.
Kunjungan ke Indonesia mendapat sambutan antusias tak hanya dari umat Katolik Tanah Air, juga umat agama lain. Salah satu tempat yang didatangi Fransiskus adalah Masjid Istiqlal. Di sana ia bertemu dengan tokoh lintas agama. Puncaknya, Fransiskus memimpin misa akbar di Gelora Bung Karno, yang dihadiri sekitar 80 ribu pemeluk Katolik.
Fransiskus bukan semata seorang pemimpin agama, juga pejuang keadilan sosial. Sejumlah ensiklik atau surat amanat bagi pimpinan gereja dan umat Katolik yang ditulisnya mencerminkan kepedulian itu. Ensiklik Laudato Si’ yang dikeluarkan pada 2015 menekankan peran gereja dalam mengatasi perubahan iklim. Pada 2020, lewat ensiklik Fratelli Tutti, Fransiskus menyerukan persaudaraan tanpa sekat dan persahabatan sosial.
Ia mendorong pemimpin gereja Katolik memberkati kaum lesbian, gay, biseksual, dan transgender, meski tetap menolak perkawinan sejenis. Kepada kelompok yang menentang sikapnya yang merangkul kaum gay dan lesbian, ia menjelaskan: “Bertahun-tahun kita sibuk membahas boleh-tidaknya perceraian, keluarga berencana, dan pasangan sejenis, sementara bumi kita makin rusak dan ketidaksetaraan antarmanusia berkembang biak bagai kanker.”
Sikap hidup sederhana Paus Fransiskus patut dipuji. Berangkat dari Roma ke Jakarta, dia menolak menggunakan jet pribadi. Di usianya yang lanjut, ia memilih duduk di kursi penumpang Italian Airways, yang disewa untuk membawanya bersama rombongan plus 88 jurnalis dari seluruh dunia. Di Jakarta, Paus menolak naik mobil mewah antipeluru dan memilih Toyota Innova, mobil yang banyak dipakai warga Jakarta. Sebagai tempat menginap, Fransiskus bermalam di Kedutaan Besar Vatikan di Jakarta, bukan di hotel bintang lima.
Spirit kesederhanaan dan kepedulian kepada sesama itu tak sejalan dengan aturan protokol Indonesia. Kehendak Paus agar dapat berdialog dengan pelbagai lapisan masyarakat tidak dipenuhi karena alasan keamanan. Kecemasan pada keselamatan Paus membuat dia jauh dari kaum papa yang selama ini ia bela. Rencana Paus Fransiskus mengunjungi lokasi pengungsian dan panti-panti tidak terlaksana. Sebagai gantinya, protokol acara mendatangkan puluhan anak yatim dan pengungsi di kantor Konferensi Waligereja Indonesia.
Pengaturan acara yang seremonial justru membuka kesempatan kepada pejabat tinggi, taipan, dan pengusaha papan atas berjumpa dengan Fransiskus—para pemodal kakap yang selama ini dikritik Paus. Dalam sambutannya, setengah menyindir, Paus menyebutkan kekayaan Indonesia terbesar saat ini adalah harmoni, bukan pelbagai tambang dari dalam bumi.
Sikap anti-kekuasaan Paus yang justru memiliki kuasa atas umat Katolik dunia mengajari kita tentang kerendahhatian dan tanggung jawab di balik mandat para pemimpin. Dalam Two Popes, sinema fiksi menyentuh yang berupaya menggambarkan hubungan Paus Fransiskus dengan Paus Benediktus XVI, kita mendapat pelajaran berharga: kualifikasi terpenting dari pemimpin adalah ketidakinginan menjadi pemimpin.
Sikap itu kini tak dipraktikkan banyak pemimpin dunia, termasuk Indonesia. Populisme politik menjadi kamuflase tindak-tanduk para pemimpin. Soeharto dulu mempopulerkan frasa ojo dumeh, ajakan para pemimpin untuk tidak sombong dan bersikap mentang-mentang. Presiden Joko Widodo menggunakan istilah “belum kepikir” dan “aku rapopo”—frasa untuk raibnya berahi kekuasaan dan sikap lapang dada pada cercaan lawan politik.
Paus Fransiskus melawan populisme dan mempraktikkan sikapnya itu: ia membuktikan kekuasaan adalah mandat yang harus diemban dalam wujud kepedulian kepada sesama, bukan terhadap keluarga.