maaf email atau password anda salah

Satu Akun, Untuk Semua Akses

Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini

Satu Akun, Untuk Semua Akses


Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke [email protected].

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Satu Akun, Untuk Semua Akses

Masukan alamat email Anda, untuk mereset password

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link reset password melalui email ke [email protected].

Ubah No. Telepon

Ubah Kata Sandi

Topik Favorit

Hapus Berita

Apakah Anda yakin akan menghapus berita?

Ubah Data Diri

Jenis Kelamin

Penyelesaian Bermasalah Pelanggaran HAM Berat

Penyelesaian non-yudisial kasus pelanggaran HAM berat terlalu berfokus pada pemberian kompensasi. Bisa melanggengkan impunitas.

arsip tempo : 173077870118.

Pesan Keliru Penyelesaian Kasus HAM. tempo : 173077870118.

JIKA tak dibarengi langkah lain, kebijakan Presiden Joko Widodo mendorong penyelesaian non-yudisial kasus pelanggaran hak asasi manusia sulit memenuhi rasa keadilan korban. Dengan memberikan kompensasi semata, tidak ada jaminan pelanggaran HAM tak berulang di masa depan. Penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat harus diikuti dengan pelurusan sejarah dan perubahan kurikulum pendidikan nasional.

Pada akhir Juni lalu, Presiden Jokowi secara resmi memulai proses pemberian kompensasi untuk korban dalam 12 kasus pelanggaran HAM berat. Peluncuran kebijakan ini ditandai oleh seremoni di lokasi salah satu kasus pelanggaran HAM berat, yakni di Rumoh Geudong, Pidie, Aceh. Ironisnya, seremoni itu diprotes sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang menyesalkan pembersihan bekas lokasi penyiksaan warga Pidie tersebut dari puing. Artefak sejarah yang seharusnya dijaga dan dilestarikan untuk merawat memori kolektif soal peristiwa memilukan itu justru disingkirkan demi kelancaran upacara yang dihadiri Presiden dan sejumlah menteri.

Insiden pembersihan di Rumoh Geudong sejatinya mencerminkan kelirunya pendekatan Presiden dan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dipimpin Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. Tak hanya salah menerjemahkan aspirasi warga dan keinginan korban yang berkeras mempertahankan bukti sejarah yang tersisa di Rumoh Geudong, tekanan yang terlampau besar pada soal pemberian kompensasi kepada korban menunjukkan kegagalan pemerintah memahami esensi dari penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di negeri ini.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mencatat ada 16 kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia. Empat kasus pelanggaran HAM berat di Timor Timur, Tanjung Priok (Jakarta), serta Abepura dan Paniai (Papua) sudah dibawa ke meja hijau lewat mekanisme yudisial. Namun semua terdakwa dalam kasus-kasus itu divonis bebas. Para hakim pengadilan ad hoc HAM menilai bukti yang disodorkan Kejaksaan Agung dan Komnas HAM untuk menyatakan telah terjadi pelanggaran HAM yang meluas dan sistematis tidak cukup buat menjatuhkan vonis bersalah.

Penyelesaian di luar pengadilan melalui mekanisme Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) juga menemui jalan buntu. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 yang mengatur pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada 2006. Akibatnya, mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM dengan jalur serupa yang sudah berjalan di Aceh kehilangan pijakan hukum. Tim penyelesaian pelanggaran HAM lewat jalur non-yudisial yang digagas Presiden Jokowi memang menawarkan solusi pragmatis di tengah kebuntuan ini. 


Baca liputannya:


Masalahnya, iktikad baik itu tidak boleh berhenti di bibir saja. Tetap perlu ada upaya mencari keadilan retributif untuk korban yang masih menginginkan penyelesaian yudisial. Selain itu, untuk menjamin tidak ada lagi pelanggaran HAM berat di Indonesia, semua narasi publik dari lembaga negara harus diubah. Tak boleh lagi ada tafsir sejarah resmi, terutama dalam kurikulum pendidikan untuk siswa sekolah kita, yang masih memaklumi pelanggaran HAM. Jika ini tak dilakukan, inisiatif non-yudisial yang diluncurkan Presiden akan dicemooh sebagai kebijakan setengah hati yang justru melanggengkan impunitas.

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Pesan Keliru Penyelesaian Kasus HAM"

Konten Eksklusif Lainnya

  • 3 November 2024

  • 27 Oktober 2024

  • 20 Oktober 2024

  • 13 Oktober 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan