maaf email atau password anda salah
Satu Akun, Untuk Semua Akses
Satu Akun, Untuk Semua Akses
Konfirmasi Email
Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke [email protected].
Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo
Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang
Satu Akun, Untuk Semua Akses
Masukan alamat email Anda, untuk mereset password
Konfirmasi Email
Kami telah mengirimkan link reset password melalui email ke [email protected].
Ubah No. Telepon
Ubah Kata Sandi
Topik Favorit
Hapus Berita
Apakah Anda yakin akan menghapus berita?
Ubah Data Diri
Jenis Kelamin
Lebih dari tiga dekade, tradisi menanam padi ladang menghilang dari Kampung Samo, Posi-Posi, dan Gumira, di kaki Pulau Halmahera, Maluku Utara. Masyarakat dari tiga desa tersebut lebih memilih membeli beras sebagai makanan selingan ketimbang bersusah-payah memelihara padi. Ada yang meninggalkannya lantaran bekerja di perusahaan kayu yang menebangi hutan di kampung, sehingga mereka mendapatkan upah sehari-hari untuk dibelikan beras. Ada pula yang awalnya terpaksa berhenti karena mengumpulkan dana untuk membangun surau di kampungnya yang roboh. Perkumpulan PakaTiva dengan dukungan Yayasan EcoNusa berupaya mengembalikan tradisi tersebut untuk membangun kemandirian pangan masyarakat, juga agar mereka menjaga hutan. Tempo mengikuti Ekspedisi Maluku yang digagas EcoNusa, yang antara lain mendatangi tiga kampung itu.
SEKITAR 280 tahun lalu, krisis ekonomi dan hoaks menyulut Geger Pecinan 1740-1743. Lebih dari 10 ribu warga keturunan Cina di Batavia dibantai Belanda dan lebih dari 500 rumah mereka dijarah serta dibakar. Mereka yang selamat lalu lari ke Jawa Tengah dan bersekutu dengan prajurit Keraton Mataram. Pasukan gabungan ini menyerang balik Belanda dan menduduki sejumlah daerah di Jawa Tengah. Di tengah kecamuk itu, muncul prajurit perempuan, Tan Peng Nio, putri jenderal pelarian dari Cina. Tan Peng Nio layaknya Mulan, tokoh film animasi Disney yang menyaru sebagai lelaki demi turun bertempur di medan laga. Tempo menyusuri jejaknya dengan menyambangi makamnya di Kebumen, Jawa Tengah. Area permakaman itu kabarnya juga menjadi salah satu saksi peristiwa Geger Pecinan sekaligus tempat pertemuan Tan Peng Nio dengan bangsawan Jawa, Raden Mas Soleman Kertawangsa, yang kemudian menjadi suaminya. Berikut ini laporannya.
Berangkat dari Rotterdam pada 23 Agustus 2019, rombongan kapal Arka Kinari akhirnya melemparkan jangkar di Indonesia pada 1 September lalu. Kapal itu mengangkut pasangan suami-istri seniman, Nova Ruth Setyaningtyas dan Grey Filastine, dan enam awak lintas negara. Dalam tur minim jejak karbon ini, mereka menyinggahi sejumlah negara dan menggelar konser mini di atas kapal. Petualangan mereka diwarnai sejumlah tantangan, dari serangan badai, pandemi corona, hingga perizinan yang membuat mereka sempat terkatung-katung di lautan. Tak hanya berkampanye soal lingkungan, kru Arka Kinari terlibat dalam gerakan Jalur Rempah yang dicanangkan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Itu pula yang membuat mereka mengubah rute kunjungan, menuju sejumlah titik jalur rempah Nusantara: Sorong (Papua Barat), Banda Neira (Maluku), Selayar dan Makassar (Sulawesi Selatan), Benoa (Bali), dan Surabaya (Jawa Timur). Tempo melaporkan.
Penangkapan Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan, Effendi Buhing, akhir Agustus lalu membawa nama Tariu Borneo Bangkule Rajangk ke permukaan. Laskar berjulukan Pasukan Merah itu tampil membela tokoh adat asal Lamandau, Kalimantan Tengah, tersebut. Sang pemimpin, Pangalangok Jilah, mengklaim anggota pasukannya yang berkisar 50 ribu orang tersebar di penjuru Kalimantan, termasuk Malaysia dan Brunei Darussalam, dan dipimpin 91 panglima. Sementara dulu bergerak dalam pelestarian adat dan budaya, kini Pasukan Merah juga berfokus pada advokasi anggotanya yang tersangkut kasus hukum. Tempo melaporkan dari Bukit Raya Toho, Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat, salah satu hutan adat yang dirawat Pasukan Merah.
SATU lagi karya sineas muda Indonesia mendapat penghargaan internasional. Film dokumenter You and I besutan sutradara Fanny Chotimah asal Solo, Jawa Tengah, dinobatkan sebagai film terbaik dengan meraih Asian Perspective Award dalam 12th DMZ International Documentary Film Festival di Korea Selatan. Fanny merekam persahabatan dua perempuan, Kaminah dan Kusdalini, yang merupakan mantan tahanan politik peristiwa 1965. Setelah dibebaskan, mereka ditolak keluarga sehingga memutuskan tinggal bersama. Film ini merekam hari-hari terakhir kehidupan mereka yang masih diwarnai stigma.
Ini bukan pertama kalinya sineas membuat film dokumenter tentang peristiwa 1965 yang menjadi lawan narasi Orde Baru. Namun munculnya sineas-sineas muda perempuan memberikan perspektif baru dalam melihat sejarah. Sebelum You and I, Kartika Pratiwi membuat film dokumenter animasi berjudul A Daughter's Memory. Film ini mengangkat kisah Svetlana Dayani, putri Njoto, salah seorang pemimpin Partai Komunis Indonesia. Berangkat dari kedua film ini, Tempo merekonstruksi kehidupan eks tapol perempuan dan bagaimana stigma yang mereka hadapi pada masa sekarang. Juga bagaimana sineas muda memaknai kembali sejarah yang simpang-siur di sekitar kita.
Mural karya Lee Man Fong, Margasatwa dan Puspita Indonesia, yang menjadi koleksi Hotel Indonesia Kempinski mengalami proses restorasi. Lukisan terbesar yang pernah dibuat Lee Man Fong ini digarap pada 1962 atas perintah Presiden Sukarno. Lukisan ini bertema keberagaman hayati Indonesia. Tak banyak yang tahu bahwa mural ini memiliki master berupa dua lukisan cat air yang juga dibuat Lee Man Fong. Ikuti kisah tentang lukisan ini dan lukisan lain yang menjadi koleksi Hotel Indonesia Kempinski.
Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.