maaf email atau password anda salah
Satu Akun, Untuk Semua Akses
Satu Akun, Untuk Semua Akses
Konfirmasi Email
Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke [email protected].
Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo
Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang
Satu Akun, Untuk Semua Akses
Masukan alamat email Anda, untuk mereset password
Konfirmasi Email
Kami telah mengirimkan link reset password melalui email ke [email protected].
Ubah No. Telepon
Ubah Kata Sandi
Topik Favorit
Hapus Berita
Apakah Anda yakin akan menghapus berita?
Ubah Data Diri
Jenis Kelamin
Peringatan 120 tahun kelahiran jurnalis legendaris asal Malang, Jawa Timur, Kwee Thiam Tjing alias "Tjamboek Berdoeri” dirayakan pada pada 23 Februari 2020 lalu dengan sebuah perjalanan napak tilas di kota kelahirannya. Dia adalah saksi sejarah berbagai momentum penting bangsa kita.
Lebih dari 500 poster seni rupa Indonesia dipamerkan di Yogyakarta. Tidak hanya mengingatkan pada peristiwa-peristiwa kesenian yang mengentak pada jamannya, poster itu membawa kenangan pada konteks pergulatan sosial, politik dan ekonomi pada tahun-tahun lampau. Masa lalu ternyata memang belum usai.
Sepanjang 2019 hingga awal 2020, berbagai kelompok teater dari Yogyakarta sampai Jakarta mengenang sepuluh tahun kepergian W.S. Rendra dengan mementaskan naskah-naskah karya dan sadurannya. Suara pria berjulukan Si Burung Merak yang jasadnya dimakamkan di Bengkel Teater, Cipayung itu masih terus menginspirasi dan bergaung.
HARBIN merupakan satu di antara lima kota paling dingin di dunia. Ibu kota Provinsi Heilongjiang, Cina, itu memiliki musim dingin yang panjang dan salju menyelimutinya selama lima-enam bulan dalam setahun. Kota paling utara di Cina itu terkenal lewat Harbin International Ice and Snow Sculpture Festival, yang salah satu acaranya berupa kompetisi membuat patung salju. Sementara itu, tak jauh dari Harbin, Cina makin giat mendandani Yabuli, desa resor ski yang digadang-gadang menandingi Davos di Swiss.
LEBIH dari seratus tahun silam, Jakob “Jaap” Kunst menjejakkan kaki di Nusantara. Sarjana hukum kelahiran Groningen, Belanda, itu datang ke Hindia Belanda pada 1919 untuk menjalani tur bersama grup musiknya. Sementara dua rekannya kembali ke Belanda, Jaap, pemain biola, memilih tinggal di Indonesia. Usianya 28 tahun ketika dia terpikat pada gamelan Jawa dan memutuskan menyelami alat musik tersebut. Jaap juga mendokumentasikan alat musik tradisi lain. Ia pergi ke pelosok Jawa, Sumatera, Kalimantan, Nusa Tenggara, Bali, juga Papua. Jaap merekam bebunyian dari alat musik tersebut dengan silinder lilin dan piringan hitam, yang sebagian dipampang dalam pameran “Melacak Jejak Jaap Kunst: Suara dari Masa Lalu” di Museum Nasional, Jakarta, 28 November 2019-10 Januari 2020. Semangat Jaap, buku-buku yang ia terbitkan, dan segudang arsipnya menjadi cikal-bakal munculnya istilah “etnomusikologi”.
Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.