Jaap Kunst yang Terlupakan
LEBIH dari seratus tahun silam, Jakob “Jaap” Kunst menjejakkan kaki di Nusantara. Sarjana hukum kelahiran Groningen, Belanda, itu datang ke Hindia Belanda pada 1919 untuk menjalani tur bersama grup musiknya. Sementara dua rekannya kembali ke Belanda, Jaap, pemain biola, memilih tinggal di Indonesia. Usianya 28 tahun ketika dia terpikat pada gamelan Jawa dan memutuskan menyelami alat musik tersebut. Jaap juga mendokumentasikan alat musik tradisi lain. Ia pergi ke pelosok Jawa, Sumatera, Kalimantan, Nusa Tenggara, Bali, juga Papua. Jaap merekam bebunyian dari alat musik tersebut dengan silinder lilin dan piringan hitam, yang sebagian dipampang dalam pameran “Melacak Jejak Jaap Kunst: Suara dari Masa Lalu” di Museum Nasional, Jakarta, 28 November 2019-10 Januari 2020. Semangat Jaap, buku-buku yang ia terbitkan, dan segudang arsipnya menjadi cikal-bakal munculnya istilah “etnomusikologi”.
SEKILAS tabung-tabung mungil itu mirip botol bumbu rempah kemasan yang dijual di supermarket. Tutupnya cokelat dengan label stiker yang sudah lusuh dan usang. Kita akan sadar bahwa itu alat rekam bila membaca tulisan di labelnya: “Edison Recording Blank”. Silinder lilin berumur hampir seabad itu milik Jakob “Jaap” Kunst, peneliti musik tradisi asal Belanda. Kunst sempat bekerja di Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kun
...
Berlangganan untuk lanjutkan membaca.
Kami mengemas berita, dengan cerita.
Manfaat berlangganan Tempo Digital? Lihat Disini