Pelan-pelan RUU Kesehatan

DPR kembali tertutup menyusun RUU Kesehatan. Omnibus law kesehatan tak boleh  mengulang kesalahan UU Cipta Kerja.

Tempo

Minggu, 15 Januari 2023

PERSOALAN utama dalam penyusunan undang-undang beberapa waktu terakhir adalah kecenderungan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat yang menganggap proses ini hanya urusan mereka. Kritik dan masukan masyarakat dianggap sebagai gangguan. Kalaupun ada, partisipasi publik hanya diperlakukan sebagai formalitas. Pembahasan Rancangan Undang-Undang Kesehatan yang diajukan secara omnibus atau omnibus law kesehatan semestinya tidak mengulang langkah ugal-ugalan itu.

Setelah Dewan memutuskan Rancangan Undang-Undang Kesehatan masuk program legislasi nasional pada November 2022, penyusunannya bak berjalan di lorong gelap. Dalam dialog dengan sejumlah kelompok masyarakat, Badan Legislasi menyatakan belum ada naskah akademik, tahap paling awal pada penyusunan rancangan undang-undang. Draf yang beredar bukan dari mereka. Belakangan, tersiar kabar Badan Legislasi segera mengesahkan draf rancangan dan mengirimkannya ke pemerintah. Simpang siur seperti ini terjadi pada penyusunan Undang-Undang Cipta Kerja, yang juga disusun dengan metode omnibus dan pada akhirnya Mahkamah Konstitusi menyatakannya tidak konstitusional.

Dalam draf yang beredar, rancangan aturan menempatkan semua urusan kesehatan dari hulu sampai hilir di bawah kendali Menteri Kesehatan. Kementerian Kesehatan bahkan akan membawahkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) hingga Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Wewenang organisasi profesi yang selama ini sangat dominan dipangkas. Menteri Kesehatan kelak yang menentukan standar pendidikan kesehatan, mengesahkan surat tanda registrasi (STR), juga mengeluarkan surat izin praktik yang merupakan lisensi profesi bagi pekerja kesehatan. Konsil Kedokteran Indonesia yang sebelumnya independen kelak juga harus bertanggung jawab kepada Menteri Kesehatan.

Bisa dipahami jika Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan organisasi profesi kesehatan lain, seperti Persatuan Dokter Gigi Indonesia, Persatuan Perawat Nasional Indonesia, Ikatan Bidan Indonesia, dan Ikatan Apoteker Indonesia, menolak rancangan tersebut. Mereka mengingatkan aturan yang memangkas peran organisasi profesi demi meningkatkan jumlah dokter tersebut akan mengorbankan kualitas pelayanan kesehatan.

Kurangnya ketersediaan dokter memang merupakan masalah besar dalam pelayanan kesehatan di Indonesia. Saat ini kebanyakan pusat kesehatan masyarakat dan rumah sakit di Indonesia hanya berada di kota-kota besar. Maka jangan heran kalau masih ada penduduk yang harus menempuh perjalanan berjam-jam untuk menjangkau fasilitas kesehatan. Belum lagi penempatan dokter yang tidak merata dan jumlah spesialis yang jauh dari cukup. Atau, kalaupun fasilitasnya mudah diakses dan dokter tersedia, belum tentu ongkosnya terjangkau. Indonesia Corruption Watch pernah menyoroti tidak adanya aturan mengenai bantuan dan perlindungan hukum bagi pasien. Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan juga sempat mempersoalkan jaminan hak asasi perempuan atas kesehatan reproduksi.

Saat ini, menurut data Konsil Kesehatan, jumlah dokter spesialis hanya sekitar 54 ribu atau satu dokter harus melayani 5.000 orang. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan omnibus law kesehatan mempermudah pengurusan STR dan izin praktik serta mencetak banyak dokter spesialis. Investasi asing di sektor kesehatan juga boleh masuk. Rumah-rumah sakit ternama seperti Mayo Clinic di Amerika Serikat atau Mount Elizabeth di Singapura diharapkan mendirikan cabang di Indonesia. Jumlah tenaga spesialis dengan demikian akan bertambah. Masalahnya, apakah masyarakat kebanyakan akan mampu membayar?

Omnibus law kesehatan akan berguna bagi masyarakat jika dapat menghadirkan layanan kesehatan yang profesional, terjangkau, dan tidak diskriminatif. Hal itu hanya mungkin terjadi kalau regulator memahami persoalan-persoalan penting kesehatan yang dihadapi masyarakat. Karena itu, DPR dan pemerintah seyogianya tidak terburu-buru mengesahkannya. Proses pembuatannya harus betul-betul melibatkan publik dan mendengarkan aspirasi semua pemangku kepentingan. Hanya dengan itu, aturan yang dihasilkan tidak membahayakan kesehatan, yang merupakan hak dasar semua warga negara Indonesia.

Artikel:

Berita Lainnya