Runtuhnya Wibawa Mahkamah Konstitusi
Sanksi untuk Guntur Hamzah serta pemilihan Ketua Mahkamah Konstitusi merusak wibawa lembaga. Runtuhnya produk reformasi 1998.
TAK ada lagi kehormatan pada Mahkamah Konstitusi. Dibentuk untuk menjadi lembaga penguji konstitusionalitas proses legislasi oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat, salah satu produk reformasi 1998 itu kini makin lemah dari tujuan pendiriannya.
Kemunduran Mahkamah Konstitusi (MK) makin terlihat pada putusan Majelis Kehormatan yang memeriksa perbuatan hakim konstitusi Guntur Hamzah. Majelis Kehormatan hanya memberi sanksi buat Guntur, yang terbukti sengaja mengubah substansi putusan uji materi Undang-Undang MK, berupa teguran tertulis. Pelanggaran berat oleh hakim penjaga konstitusi itu hanya diganjar hukuman administratif. Tak sekadar menjatuhkan tingkat kepercayaan publik kepada lembaga itu, putusan Majelis Kehormatan juga telah mentoleransi cacat oleh seorang hakim konstitusi.
Pada saat hampir bersamaan dengan keluarnya putusan itu, lembaga tersebut kembali memilih hakim konstitusi Anwar Usman sebagai ketua untuk periode kedua hingga 2028. Ia menikahi Idayati, adik Presiden Joko Widodo, pada Mei tahun lalu. Hubungan kekerabatan ini menimbulkan potensi benturan kepentingan, yang juga bakal mempengaruhi kewibawaan Mahkamah Konstitusi. Apalagi, selain menguji konstitusionalitas produk legislasi, Mahkamah Konstitusi berfungsi memutus sengketa hasil pemilihan umum serta memutuskan pemberhentian presiden atas rekomendasi DPR.
Penurunan kualitas MK sebenarnya terjadi sejak revisi Undang-Undang MK pada 2020. Dalam regulasi yang baru, hakim konstitusi yang sekarang menjabat bisa bertahan sampai umur 70 tahun. Usia minimum hakim konstitusi juga dinaikkan dari 47 tahun menjadi 55 tahun. Perubahan ini disebut-sebut merupakan hasil pertukaran kepentingan alias barter para hakim konstitusi dengan Senayan, yang berusaha mengamankan legalitas sejumlah undang-undang.
Lihat juga pencopotan hakim Aswanto oleh DPR. Aswanto digantikan Guntur Hamzah, yang sebelumnya menjabat Sekretaris Jenderal MK. DPR menyatakan Aswanto dicopot karena membuat putusan yang menganulir produk hukum DPR. Salah satunya Undang-Undang Cipta Kerja. Aswanto dan empat hakim konstitusi lain menyatakan undang-undang itu inkonstitusional bersyarat. Ia merupakan hakim konstitusi dari jalur pencalonan DPR—bukan jalur pemerintah atau Mahkamah Agung.
Baca liputannya:
- Pelanggaran-Pelanggaran Hakim Konstitusi
- Wawancara Hakim Konstitusi Guntur Hamzah
- Mengapa Anwar Usman Kembali Memimpin Mahkamah Konstitusi
Sesuai dengan tujuan pembentukannya, Mahkamah Konstitusi seharusnya menjadi lembaga independen. Lembaga ini memang berfungsi menguji apakah suatu produk legislasi sesuai dengan konstitusi. Pencopotan Aswanto menunjukkan independensi itu sama sekali tak terjaga. Independensi MK dipastikan makin tergerus jika Undang-Undang MK hasil revisi mulai berlaku. Salah satu materi revisi adalah mekanisme evaluasi hakim. Bukan tak mungkin pencopotan ala Aswanto kembali terjadi. Hakim konstitusi diberhentikan di tengah masa jabatan tatkala membatalkan undang-undang yang dibuat pemerintah dan DPR.
Pelemahan lembaga seperti Mahkamah Konstitusi menggambarkan institusi-institusi demokrasi yang lahir pasca-1998 sudah dipereteli. Sebelum MK, kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dipangkas melalui revisi Undang-Undang KPK pada 2019. Padahal kedua institusi itu lahir untuk memperkuat mekanisme keseimbangan kekuasaan. Tanpa mekanisme kontrol dan pengawasan, kekuasaan akan berjalan sewenang-wenang dan korup. Sayang sekali, runtuhnya produk reformasi itu terjadi pada periode kekuasaan Jokowi, presiden yang pada awalnya banyak disokong kekuatan sipil.