Mudarat Bursa Kripto
Pendirian bursa kripto bukan prioritas. Bangkrutnya FTX dan sejumlah bank di Amerika Serikat menunjukkan rentannya komoditas ini.
RENCANA pemerintah mendirikan bursa perdagangan aset kripto di Indonesia paling lambat pada Juni 2023 terlalu terburu-buru. Penyebab utama kejatuhan FTX dan sejumlah bank yang memfasilitasi perdagangan kripto serta dampaknya terhadap sistem finansial global perlu dikaji dan diantisipasi lebih dulu. Merestui pendirian bursa kripto ketika regulasi perlindungan konsumen belum jelas adalah kebijakan yang sembrono.
Kita tahu ketika FTX—salah satu bursa kripto terbesar di dunia—bangkrut pada November 2022, ada lebih dari US$ 32 miliar (Rp 489 triliun) nilai asetnya yang lenyap dalam sekejap. Rentetan berbagai masalah hukumnya juga belum tuntas hingga kini. Jatuhnya FTX diikuti tutupnya sederet perusahaan kripto sepanjang 2022. Ada Three Arrows Capital, Celsius Network, Voyager Digital, dan BlockFi. Pada awal Maret 2023, dua bank di Amerika Serikat yang memfasilitasi industri kripto, Silvergate Capital dan Signature, juga gulung tikar.
Terlebih membangun bursa kripto tidak semudah membalik telapak tangan. Selain diperlukan kecukupan modal, sifat dasar aset kripto yang terdesentralisasi akan menyulitkan pemerintah menjamin efektivitas kendalinya. Ambruknya bandar dan lembaga keuangan di Amerika membuktikan komoditas digital ini memiliki tingkat risiko jauh lebih tinggi dari yang dibayangkan. Otoritas Jasa Keuangan perlu turun tangan memastikan tidak ada risiko sistemik terhadap sistem keuangan kita jika bursa kripto resmi berdiri di Indonesia.
Risiko itu riil karena jumlah pelanggan terdaftar aset kripto terus bertambah, dari 11,2 juta pada 2021 menjadi 16,55 juta pada 2022. Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) mencatat total nilai transaksi kripto pernah mencapai Rp 859,4 triliun selama 2021. Jumlah ini turun menjadi Rp 296,66 triliun pada Januari-November 2022. Apalagi ada dugaan sebagian dana pembelian aset kripto berasal dari kredit perbankan. Jangan sampai lonjakan angka kredit konsumsi untuk perdagangan kripto malah berujung pada kredit macet ketika nilai kripto ambrol berjemaah. Karena itu, OJK perlu memastikan semua bank, perusahaan asuransi, dan lembaga pembiayaan tidak beramai-ramai memfasilitasi perdagangan aset kripto.
Baca liputannya:
- Pertarungan Calon Bursa Kripto
- Nasib Investor Kripto Saat Nilai Aset Jeblok
- Wawancara Kepala Bappebti
Pemerintah memang sudah kepalang basah meregulasi kripto. Sejak lima tahun lalu Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 99 Tahun 2018 menetapkan aset kripto sebagai komoditas yang dapat dijadikan subyek kontrak berjangka dan dapat diperdagangkan di bursa berjangka. Penetapan OJK sebagai pengawas komoditas ini sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan harus menjadi momentum untuk memperbaiki pelindungan investor kripto.
Langkah Bank for International Settlement—lembaga keuangan internasional yang dimiliki bank-bank sentral—yang mensyaratkan pencadangan modal bank atas setiap aset kripto seperti Bitcoin dan Ethereum sebesar 1.250 persen bisa ditiru. Penjaminan semacam itu dapat mengurangi aspek spekulasi perdagangan aset digital ini. Tentu dibutuhkan koordinasi semua instansi pemerintah yang bertanggung jawab mengelola kripto agar kebijakan pemerintah seirama. Pada saat yang sama, literasi finansial para investor kripto perlu terus ditingkatkan. Jangan sampai nilai transaksi kripto terus meroket sampai menjadi balon besar yang letusannya kelak mengguncang stabilitas sistem keuangan kita.