Tipu-tipu Berkedok Koperasi
Penipuan berkedok koperasi berulang akibat keserakahan. KSP Indosurya mengakali ketiadaan lembaga pengawas.
PENGGELAPAN dana nasabah Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Indosurya menambah panjang daftar tipu-tipu berkedok “usaha bersama atas dasar kekeluargaan”. Negara seharusnya mencegah masyarakat menjadi korban komplotan jahat yang menyalahgunakan celah hukum dan lemahnya pengawasan.
Di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, jaksa mendakwa pemilik KSP Indosurya, Henry Surya, melanggar Undang-Undang Perbankan dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jaksa juga menuntut Henry 20 tahun penjara. Namun, pada 24 Januari lalu, majelis hakim memvonisnya bebas. Menurut hakim, semua dakwaan jaksa terbukti, tapi perbuatan bos Indosurya itu bukan tindak pidana, melainkan perdata.
Menurut jaksa, pengurus Indosurya telah menghimpun dana secara ilegal sejak 2012. Dana yang mereka jaring dari 23 ribu nasabahnya mencapai Rp 106 triliun. Indosurya kemudian menyalurkan dana ke puluhan perusahaan cangkang milik pengurus koperasi. Demi keadilan bagi korban, sudah sepantasnya jaksa mengajukan permohonan banding hingga kasasi.
Perkara Indosurya bukanlah yang pertama. Korban umumnya tergiur iming-iming keuntungan besar. Mulanya sejumlah orang memperdaya mereka yang bermimpi meraup cuan dengan cara instan. Ujungnya, tak hanya urung mendapat untung, para nasabah malah kehilangan semua uang yang mereka tanamkan. Dalam konteks ini, masyarakat seharusnya waspada setiap kali mendapat iming-iming bagi hasil yang tidak wajar.
Ditilik dari sudut mana pun, KSP Indosurya dan sejenisnya jelas melenceng jauh dari misi mulia pembentukan koperasi. Mohammad Hatta, Proklamator dan Bapak Koperasi Indonesia, mengajarkan bahwa tujuan utama koperasi adalah menyejahterakan anggotanya. Koperasi bekerja atas prinsip saling menolong secara kolektif. Koperasi seharusnya tak memberi ruang bagi pemupuk keuntungan pribadi di atas penderitaan anggota lain.
Koperasi simpan-pinjam seharusnya hanya menghimpun dana dari anggota. Dana yang terkumpul pun hanya boleh dipinjamkan kepada anggota yang memerlukan modal usaha atau kegiatan produktif lain. Mengakali aturan itu, pengurus Indosurya menyematkan status calon anggota kepada korbannya. Sebagai calon anggota, korban Indosurya tak bisa meminta pertanggungjawaban pengurus koperasi, misalnya dalam rapat anggota tahunan.
Sulit dibantah, pengawasan atas koperasi simpan-pinjam selama ini sangat lemah. Berdasarkan Undang-Undang Perkoperasian, yang mengontrol pengurus hanyalah pengawas koperasi yang ditunjuk lewat rapat anggota. Di luar itu, tak ada lembaga lain yang bisa mengawasi mereka. Pemerintah pun, dalam hal ini kementerian dan dinas koperasi, hanya berperan sebagai pembina. Karena celah hukum itulah komplotan penipu lebih mudah memakai koperasi untuk mencari mangsa, ketimbang bank atau lembaga lain yang diawasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) memang telah mengalihkan pengawasan koperasi yang menghimpun dana dari luar anggota (open loop) kepada OJK. Namun, selain tak berlaku surut, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 itu juga memerlukan masa transisi selama dua tahun untuk menapis 17 ribu koperasi simpan-pinjam. Artinya, pengawasan OJK baru efektif pada 2025. Itu pun bila OJK konsisten mengawasi dan berani menindak tegas koperasi yang melanggar.
Artikel:
- Modus Pencucian Uang Indosurya
- Profil Henry Surya Pemilik Indosurya
- Wawancara Pengacara Indosurya
- Bagaimana Polisi Melacak Aset Indosurya
- Cerita Para Korban Indosurya
- Penjahat Bank Masuk Koperasi
Di samping pengawasan, perlu juga regulasi tentang batas maksimal dana yang bisa dihimpun dan disalurkan kepada pihak luar anggota koperasi. Pada saat yang sama, demi memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap koperasi, perlu pula dibentuk semacam lembaga penjamin simpanan koperasi. Dengan begitu, penggelapan besar-besaran dana koperasi lebih mungkin dicegah.
Setiap kali menerima laporan, pemerintah dan penegak hukum hendaknya tak memakai kacamata kuda dalam menangani tipu-tipu berkedok koperasi. Kekosongan hukum bukanlah alasan untuk lepas tangan, melainkan tantangan untuk membuat terobosan. Lebih penting dari sekadar menghukum pelaku, pemerintah dan penegak hukum harus berusaha keras menyelamatkan dan mengembalikan uang para korban.