Perang melawan inflasi
Inflasi di mesir hampir 50% harga bahan makanan dinaikkan 30%. terjadilah demonstrasi. golongan komunis terlibat. kesulitan ekonomi diatasi dengan pinjaman luar negeri.

MESIR dilanda demonstrasi besar. Di Kairo dan Iskandariah,
rakyat main lempar batu bahkan membakar pos-pos polisi dua pekan
silam. Polisi mula-mula menghindari kekerasan, tapi ketika massa
makin tak terkendalikan, senjata pun tidak bisa lagi dibiarkan
diam. Di dua kota utama Mesir itu dalam waktu dua hari saja
tewas 65 orang, luka-luka lebih 800 sedang yang sempat ditahan
oleh pasukan gabungan polisi dan tentara ada sejumlah 2000 orang
Dua kota besar itu menjadi lumpuh, bahkan sebelum jam malam
diberlakukan. Harga bahan makanan yang memang telah mahal dan
menjadi sebab terjadinya demonstrasi, makin menjadi mahal saja
oleh kerusuhan itu.
Terhadap kerusuhan berdarah yang merugikan Mesir dalam ukuran
jutaan dolar itu, para peninjau di Kairo nampak sama sekali
tidak terkejut. "Kejadian semacam ini sebenarnya sudah harus
terjadi sebelumnya seandainya tidak dilakukan kebijaksanaan
subsidi oleh pemerintahan Anwar Sadat", kata seorang diplomat di
Kedutaan Besar Amerika Serikat di Kairo. Akibat perang Yom Kipur
di tahun 1973 serta perang-perang dan siaga perang sebelumnya,
perekonomian Mesir berada dalam keadaan yang amat menyedihkan.
Presiden Sadat, yang merevisi kebijaksanaan sosialis almarhum
Presiden Nasser, mencoba memperbaiki perekonomian dengan membuka
lebar-lebar pintu bagi masuknya investasi modal asing. Tapi
ketidakpastian yang terus membayangi Mesir sebagai akibat dari
masih mungkinnya terjadi ketegangan dengan Israel, menyebabkan
lemahnya arus penanaman modal asing tersebut.
Inflasi tidak bisa dicegah, dan volumenya makin membesar saja.
Yang diakui secara resmi adalah kurang 20 persen, tapi kenyataan
menunjukkan bahwa inflasi yang sebenarnya hampir mencapai 50
persen. Keadaan yang parah macam inilah yang memaksa Menteri
Perekonomian dan Keuangan Abdul Moneim Kaysouni untuk menaikkan
harga-harga bahan makanan sebesar 31 persenyang mengakibatkan
terjadinya demonstrasi berdarah tersebut. Moneim cepat-cepat
memajukan permohonan mengundurkan diri sebagai tanda
bertanggungjawab terhadap terjadinya demonstrasi, tapi Perdana
Menteri Mamdouh Salim menolak permohonan tersebut sembari
membekukan harga-harga bahan makanan untuk jangka waktu yang
tidak dijelaskan.
Di Israel, kerusuhan yang melanda Mesir itu dihubungkan dengan
desakan Mesir agar sidang Jenewa mengenai masalah Timur Tengah
segera dibuka. "Selama ancaman perang masih membayangi Mesir,
selama itu pula perekonomian sulit diperbaiki", kata seorang
politikus Israel. Mesir memang menerima banyak bantuan dari
negara-negara Arab penghasil minyak, tapi selama mesin
perekonomian Mesir sendiri tidak berputar secara semestinya,
bantuan-bantuan itu tidak akan pernah mencukupi.
Pihak Arab yang tidak senang terhadap garis kebijaksanaan Sadat
yang makin mendekati Amerika itu, sudah tentu terus berusaha
mempersulit usaha Sadat untuk menyidangkan konperensi Jenewa.
Bahkan kerusuhan di Mesir yang lalu itu kabarnya didalangi pula
oleh golongan komunis yang mempunyai hubungan erat dengan Front
Nasional Yaman Selatan dan Front Pembebasan Palestina. Surat
kabar terkemuka Mesir, Al Ahral, secara terang-terangan
menyebut golongan komunis sebagai "telah menggunakan kesempatan
pada saat kegelisahan rakyat memuncak, untuk menggulingkan
pemerintahan Anwar Sadat".
Penangkapan yang dilakukan selepas terjadinya demonstrasi juga
meliputi penangkapan terhadap sejumlah tokoh politik kiri yang
dicurigai berdiri di belakang kerusuhan tersebut. 100 orang
hakim sudah dipekerjakan untuk mengusut latar belakang politik
demonstrasi berdarah itu. Keadaan pada akhirnya memang telah
dikuasai oleh pemerintah, tapi ancaman bahaya belum lagi
terselesaikan. Pembekuan harga semakin memperparah perekonomian
Mesir. Presiden Sadat mencoba menentukan jalan keluar dengan
memajukan permohonan pinjaman sebesar 700 milyar rupiah kepada
IMF (Dana Moneter Internasional). Amerika Serikat, beberapa
negara Eropa serta negara-negara Arab penghasil minyak.
Bersamaan dengan keputusan untuk mencari pinjaman pemerintah
juga memutuskan untuk menaikan pajak impor barang-barang mewah
yang kini membanjiri kota-kota besar Mesir selesainya
perang Yom Kipur di bulan Oktober 1973. Liberalisasi
perdagangan Mesir oleh Sadat ternyata hanya makin mempertegas
garis pemisah orang kaya dan orang miskin di negeri sungai Nil
itu. Orang-orang kaya mendapat kesempatan yang luas sekali untuk
memenuhi segala kebutuhan mereka berupa barang-barang mewah
yang boleh mereka masukkan secara tuk terbatas. Alat-alat
keperluan rumah tangga yang mewah dan mobil-mobil mutakhir
memang banyak di Mesir, tapi cuma sejumlah kecil yang bisa
menikmatinya di negeri yang penghasilan per kapitanya jauh di
bawah 200 dolar. Ketika kerusuhan terjadi, barang-barang mewah
itu telah pula jadi sasaran, sehingga banyak toko-toko penjual
alat-alat keperluan rumah tangga menjadi hancur berantakan,
sementara sejumlah mobil Mercedes hangus terbakar di tengah
jalan.