Penanganan Mangrove Belum Optimal
Mangrove ke depan bisa menjadi kawasan industri, tambak, pemukiman
Kepala Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), Hartono Prawiraatmaja mengakui bahwa penanganan mangrove belum optimal. Menurutnya, hal itu dikarenakan keterbatasan anggaran dan regulasi yang belum lengkap.
“Kalau di gambut, ketika kami masuk, regulasi langsung diperbaiki. Regulasi gambut keluar tahun 2014 dan direvisi di tahun 2016 sehingga muncul regulasi baru di tahun itu. Sementara di mangrove belum ada regulasi sama sekali,” kata dia, belum lama ini.
Hartono mengatakan, mandat yang diberikan UU Lingkungan Hidup belum dijalankan dengan membentuk PP Mangrove. Sementara, ada sekitar 742 ribu hektare mangrove yang berada di luar kawasan hutan. Karena tidak ada aturan, tanah itu menjadi tak bertuan sehingga peruntukkan ke depannya tidak dipertahankan sebagai tutupan yang sekarang. “Dikhawatirkan mangrove ke depan bisa menjadi kawasan industri, tambak, pemukiman, ini yang jadi problem dan pekerjaan rumah.”
Dia pun berharap terdapat revisi untuk 742 ribu mangrove dari sisi regulasi tata ruang. “Regulasi yang kita rancang dengan KLHK mudah-mudahan bisa selesai tahun ini, pada prinsipnya semua mangrove dilindungi kecuali lokasi tertentu yang bisa diusahakan untuk silvofishery.” Mangrove, lanjut dia, sangat penting karena dibawah mangrove itu menyimpan banyak karbon, biota, tempat beranak pinak sebelum hidup di laut.
Selain menunggu regulasi tentang perlindungan pengelolaan mangrove, BRGM juga menunggu regulasi tentang pembiayaan. Saat ini pihaknya sedang menunggu implementasi dari regulasi perdagangan karbon. “Banyak pelaku usaha di sektor energi yang belum mampu mengurangi emisi, mereka sesungguhnya tertarik untuk ikut merehabilitasi mangrove.”