maaf email atau password anda salah
Satu Akun, Untuk Semua Akses
Satu Akun, Untuk Semua Akses
Konfirmasi Email
Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.
Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo
Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang
Satu Akun, Untuk Semua Akses
Masukan alamat email Anda, untuk mereset password
Konfirmasi Email
Kami telah mengirimkan link reset password melalui email ke rudihamdani@gmail.com.
Ubah No. Telepon
Ubah Kata Sandi
Topik Favorit
Hapus Berita
Apakah Anda yakin akan menghapus berita?
Ubah Data Diri
Jenis Kelamin
Sutradara muda dari Lombok, Nusa Tenggara Barat, Muhammad Heri Fadli, merilis film Jamal, yang menyoal problematika keluarga buruh migran. Jamal, akronim dari janda Malaysia, adalah sebutan untuk para istri yang ditinggal mati suaminya, buruh di Negeri Jiran. Ini adalah karya kedua Heri, yang sebelumnya sudah pernah menggarap film soal tenaga kerja Indonesia (TKI). Film berdurasi 14 menit itu diputar dalam Festival Film Lleida, Spanyol, awal Desember lalu. Dalam menggarap dua proyek itu, Heri melibatkan kru dan pemain yang sehari-hari terlibat proses pemberangkatan dan pengurusan TKI serta mereka yang tinggal di Dusun Aik Paek—salah satu kantong TKI di Lombok. Lewat filmnya, Heri tak hanya berbicara soal kemelaratan, tapi juga dampak psikologis bagi mereka yang ditinggalkan. Simak laporan Tempo dari Aik Paek, Lombok Tengah.
Muhammad Heri Fadli, 25 tahun, mulai mengenal produksi film saat kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Selepas kuliah, Heri pulang ke kampung halamannya di Lombok. Ia ingin membuat film seputar problematika tenaga kerja Indonesia di kampungnya. Setelah sukses menggarap dua film pendek, Sepiring Bersama dan Jamal, Heri bertekad membuat film panjang yang juga memotret nasib TKI.
SATU lagi karya sineas muda Indonesia mendapat penghargaan internasional. Film dokumenter You and I besutan sutradara Fanny Chotimah asal Solo, Jawa Tengah, dinobatkan sebagai film terbaik dengan meraih Asian Perspective Award dalam 12th DMZ International Documentary Film Festival di Korea Selatan. Fanny merekam persahabatan dua perempuan, Kaminah dan Kusdalini, yang merupakan mantan tahanan politik peristiwa 1965. Setelah dibebaskan, mereka ditolak keluarga sehingga memutuskan tinggal bersama. Film ini merekam hari-hari terakhir kehidupan mereka yang masih diwarnai stigma.
Ini bukan pertama kalinya sineas membuat film dokumenter tentang peristiwa 1965 yang menjadi lawan narasi Orde Baru. Namun munculnya sineas-sineas muda perempuan memberikan perspektif baru dalam melihat sejarah. Sebelum You and I, Kartika Pratiwi membuat film dokumenter animasi berjudul A Daughter's Memory. Film ini mengangkat kisah Svetlana Dayani, putri Njoto, salah seorang pemimpin Partai Komunis Indonesia. Berangkat dari kedua film ini, Tempo merekonstruksi kehidupan eks tapol perempuan dan bagaimana stigma yang mereka hadapi pada masa sekarang. Juga bagaimana sineas muda memaknai kembali sejarah yang simpang-siur di sekitar kita.
ANGKA 20 juta penayangan yang diraih Tilik membuka banyak kemungkinan untuk sebuah karya film pendek. Mulai tumbuh pada awal 1970-an, film pendek sering tak mendapat sorotan publik dan jamak dipandang sebagai batu loncatan sebelum sineas mengerjakan proyek panjang “sebenarnya”. Padahal banyak sineas yang mendapat piala utama dalam berbagai festival bergengsi dunia dengan karya singkatnya.
Sejumlah persoalan memperlambat proses produksi dan kesempatan film pendek bertemu dengan penonton. Momentum yang diciptakan Tilik patut dimanfaatkan untuk menyuburkan ekosistem perfilman pendek kita.
Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.