Senyum lebar pejuang tua
Riwayat hidup kasimo, 77, politikus, bekas ketua partai katholik, tokoh liga demokrasi. sikap hidupnya, pandangan politiknya, perjuangannya serta karir politiknya.

SIAPA tak kenal Kasimo? Politikus kawakan, bekas ketua Partai
Katolik dan salah seorang tokoh Liga Demokrasi itu, usianya kini
mendekati 77 tahun. Cukup uzur memang. Tapi ketawanya yang
lebar, khas dan tulus, masih saja menghiasi wajahnya. Melihat
kepincangan-kepincangan misalnya, ia tak mengeluh. Bukan karena
sudah puas diri, tapi "kesadaranlah yang menuntun untuk menerima
segala apa yang terjadi", katanya.
Menikmati masa tuanya, ia sekarang merasa cukup bahagia. Dengan
6 anak -- seorang meninggal - berikut 7 cucu, ia habiskan waktu
sehari-harinya dengan membaca. Juga mendengarkan gending-gending
Jawa. Kadang-kadang pagi hari jalan kaki mengitari kawasan
Menteng, tempat ia bermukim. "Tapi sejak dulu saya tak biasa
olahraga, kecuali sekedar jalan kaki", katanya. Dan sekarang,
karena merasa fisiknya sudah lemah, ia tak lagi nonton wayang
kulit yang juga termasuk kegemarannya. "Paling-paling nonton
wayang orang di TIM. Itu pun tidak sering".
Kompi Mantrijero
Sebagai pensiunan Kasimo tak begitu terlantar. "Total jenderal,
setiap bulan saya menerima sekitar Rp 60.000", ia tersenyum
lebar. Uang sejumlah itu ia dapatkan dari berbagai sumber:
pensiun sebagai pegawai negeri Departemen Pertanian,
pensiun-pensiun Menteri, anggota DPR dan anggota DPA. Selain itu
masih ada lagi tambahan dari beberapa perusahaan swasta tempat
ia duduk sebagai komisaris.
Sudah setua itu, ternyata ia tak merasa kehilangan
'keberadaannya' di tengah masyarakat. Tak menyebut secara jelas
bahwa apa yang ia cita-citakan belum terlaksana dengan sempurna,
ia menilai untuk tingkat sekarang kemajuan bangsa memang sudah
ada. Yang belum tercapai adalah keadilan sosial, "sebagai salah
satu usaha mengisi kemerdekaan yang harus dipenuhi".
"Coba lihat. Setiap malam TVRI menampilkan Pancasila. Di situ
kan jelas bahwa salah satu silanya adalah Keadilan Sosial. Maka
sepantasnya sila itu benar-benar diterapkan", katanya. Itulah
sebabnya secara serius ia pun menanggapi anjuran Presiden untuk
"hidup sederhana". Tapi untuk terlaksananya anjuran itu, kata
Kasimo, diperlukan suri tauladan. "Sayang, para penganjur 'hidup
sederhana' kurang memberi teladan, hingga anjurannya kurang
mantap".
Namun terhadap generasi muda sekarang, ia menaruh kepercayaan
besar, sementara ia pun menyadari bahwa setiap generasi
tentupunya ciri masing-masing. "Tak sedikit kaum muda sekarang
yang punya cita-cita luhur", ujarnya. Adapun terhadap sikap
pragmatis dan moderat yang khas angkatan muda kini, ia tak lupa
memberi peringatan" asal hal itu jangan sampai mengorbankan
prinsip". Lebih dari itu, orang tua itu wanti-wanti berpesan
agar anak-anak muda menghayati hidup sederhana dan jujur. "Itu
modal besar bagi perjuangan bangsa untuk mengisi kemerdekaan".
Kasimo lahir di Yogyakarta 15 April 1900. Sejak dulu, putera
prajurit kompi Mantrijero dari Kraton Kesultanan Ngayogyakarto
Hadiningrat ini memang sudah terbiasa hidup sederhana. Ia anak
kedua dari 11 bersaudara. Salah seorang saudaranya, Kasijo,
masih menjabat Direktur SMA De Britto Yogya. Orangtuanya, Rono
Sentiko, menghidupi keluarganya dari sawah seluas 8 bau. Itu pun
didapat sebagai imbalan dari Kraton. Dan sehari-hari pak Rono
menjahit untuk menarnbah penghasilan.
Ibunya, anak bekel Glagah Mujamuju, rupanya juga bukan orang
yang suka berpangku tangan. Ia ikut mengatasi kekurangan dengan
membuka perusahaan batik kecil-kecilan. Buruhnya hanya beberapa
orang. Kasimo, juga saudara-saudaranya yang lain ikut membantu
usaha ini. "Sepulang sekolah saya biasa mengikis lilin dalam
proses pembantikan", katanya mengenang masa kanak-kanaknya.
Adu Kecik
Umur 8 tahun ia baru masuk sekolah. Lantaran bukan dari keluarga
amtenar, Kasimo hanya bisa masuk sekolah dasar Boemipoetera II
di Gading yang hanya 4 tahun (Boemipoetera I sampai 5 tahun).
Sesuai dengan status dan kemampuan orang tua, Kasimo cuma
kebagian pendidikan terendah. Untung, ia bermodal kemauan keras.
"Ibu yang biasa kerja keras, telah mendorong saya bekerja keras
pula", katanya. Dan hal ini benar-benar memberi hikmah yang tak
sedikit di kemudian hari.
Hampir selesai SD, ia mendapat tawaran belajar dari Pastor van
Lith di Kweekschool (Sekolah Guru) Muntilan. Setiap akhir tahun
pastor ini biasa mendatangi sekolah-sekolah pribumi, mencari
calon-calon siswa Sekolah Guru yang dipimpinnya. Dan guru
Kasimo, pak Sastroprawiro, mencalonkan tokoh kita ini untuk
pendidikan di Muntilan itu. Inilah langkah pertama yang akan
membawa perubahan dalam kehidupan Kasimo di kemudian hari.
Kasimo benar anak kampung. Tapi ia lain dari teman-teman
sebayanya. Barangkali karena sibuk membantu orang tua, ia tak
sempat bermain di luar rumah. Ia pun tak suka berkelahi. Di masa
kecilnya dulu, perkelahian antar kampung sering terjadi.
"Jagoannya adalah anak-anak Karangkajen", tuturnya. Masa
kanak-kanaknya, sesungguhnya ia lalui biasa saja. Kalau lagi tak
ada pekerjaan, ia cuma main adu kecik (biji buah sawo). "Tapi
saya tak pernah bertaruh".
Orang tuanya penganut agama Islam, meski lebih berat pada
Kejawen. Pada bulan Puasa Kasimo juga ikut berpuasa dan
sembahyang tarawih. Namun untuk berebut memukul bedug -- seperti
yang dilakukan teman-temannya, yang biasa beraknir dengan
perkelahian -- ia hampir tak pernah. Kalau ikut sembahyang, ia
tak lebih dari hanya ikut-ikutan - sebab pendidikan agama Islam
hampir tak pernah ia terima. "Saya memang sembahyang, tapi tak
bisa mengikuti bacaannya", katanya. Orang tua Kasimo sampai
akhir hayatnya tetap dengan Kejawennya, tapi semua saudaranya -
kecuali kakaknya tertua - memeluk Katolik.
Di Kweekschool Muntilan dia menemukan lingkungan yang sama
sekali lain. "Di sini anak-anak agak alim", katanya.
"Pembicaraan yang keporno-pornoan sudah tidak terdengar lagi".
Dan rasa kagumnya tak tersembunyikan lagi, terutama melihat para
siswa Sekolah Guru yang begitu disiplin. Di sekolah ini pulalah
ia berkenalan dengan Soegijopranoto - yang kemudian hari menjadi
Monsigneur -- yang waktu itu duduk di kelas IV. Selama setengah
tahun pertama Kasimo mulai berkenalan dengan agama Katolik.
Baru Pakai Sepatu
Meski tak ada anjuran, ia selalu mengikuti upacara agama. Secara
teratur ia pun mempelajari agama dari Pastor van Drees. Dan
tepat setengah tahun berikutnya ia dibaptis dengan nama Ignatius
Josephus. Maka sahlah ia sebagai umat Katolik, dan di kemudian
hari menjadi salah seorang tokoh cukup berpengaruh dan
dihormati.
Selesai di Muntilan, tahun 1918 ia mendapat tugas belajar 3
tahun di Sekolah Pertanian Bogor. Di sinilah ia berkenalan
dengan pergerakan kebangsaan, Jong Java. Bankan tahun 1920
menjadi ketua Jong Java cabang Bogor. "Dan sejak tahun itu saya
baru mengenakan sepatu", katanya tersenyum. Selesai sekolah di
Bogor, langsung bekerja di Perkebunan Karet Merbuh, dekat
Semarang. Tapi baru 6 bulan sudah konflik dengan Sinder Kepala,
seorang Belanda totok. Sebabnya sederhana saja. Pada suatu hari
seorang buruh dipecat. Oleh Kasimo, si buruh dipekerjakan
kembali di bawah pimpinannya.
Hal itu tentu saja bikin tak senang sang Sinder yang kemudian
melaporkannya Lepada Administratur Perkebunan. Tanpa selidik,
Administratur pun memanggil Kasimo. "Saya dimaki-maki, diumpat .
selgai anak monyet", kata Kasimo. Dan hari itu juga Kasimo
dipersilakan meninggalkan perkebunan. "Ini sungguh menyakitkan",
kata Kasimo. "Kok saya diusir begitu saja oleh orang Belanda
yang asing itu dari bumi saya sendiri. Ini kan buminya orang
Jawa". Begitu pikirannya waktu itu.
Kasus ini mempersubur rasa bencinya terhadap Belanda. Dan
akhirnya mendorongnya turut serta dalam kegiatan politik melawan
penjajah. Dari Merbuh Kasimo pindah ke Tegalgondo, mengajar pada
Sekolah Pertanian Rendah di sana, sampai 10 tahun. Di masa
itulah ia ikut serta mendirikan Pukemvalan Poelitik Katolik
Djawi bersama 40 orang bekas siswa Kweekschool Muntilan. Sejarah
berdirinya PPKD tak bisa dilepaskan dari usaha umat Katolik
pribumi dalam menentukan sikap terhadap kaum kolonialis.
Dulu banyak orang Katolik menjadi anggota Boedi Oetomo. Semula
mereka "krasan", sebab BO bersikap netral terhadap semua agama.
Tapi ini tak berlangsung lama. Tahun 1917-1918, mereka keluar
dari BO. Tentang hal ini, Kasimo yan tahun 1924 menjadi ketua
PP KD menulis dalam Sejarah Gereja Katolik Indonesia:
"Meskipun kita dengan partai-partai nasional itu mempunyai
kepentingan-kepentingan nasional bersama, namun di sana kita
merasa kekurangan satu hal yang sangat penting, yaitu perhatian
terhadap soal agama Katolik di bidang politik. Memang
sewajarnya, bahwa suatu partai netral tidak dapat memperhatikan
kepentingan-kepentingan agama, dan berdasarkan azas netralnya
malahan tak boleh berbuat demikian. Lain dari pada itu, meskipun
tujuan-tujuan nasional golongan Katolik bangsa kita sama dengan
tujuan-tujuan partai netral, namun penentuan memilih
syarat-syarat untuk mencapai tujuan tersebut dapat berlainan
sama sekali, karena azas dan keyakinan berlainan".
Setelah itu, orang-orang Jawa Katolik masuk Indische Katholieke
Partij (IKP). Di sini berkumpullah Jawa dan Belanda Katolik.
Tapi masuknya Jawa-Jawa Katolik di sini juga tak bertahan lama.
Semangat nasionalis lantaran pengaruh selebaran van Lith banyak
membuka mata dan hati Katolik-Katolik pribumi. Salah sebuah
tulisan van Lith antara lain:
"Setiap orang tahu, kami para misionaris ingin bertindak sebagai
penengah. Tetapi setiap orang tahu juga, bahwa seandainya
terjadi perpecahan meskipun hal itu tak kami harapkan sedangkan
kami terpaksa memilih - kami akan berdiri di pihak golongan
pribumi".
Sikap Ndoro
Itulah sebabnya Kasimo ingin mengreksi, seolah ada konflik
antara dia dengan PrKD ketika menanda-tangani "Petisi Soetardjo"
(TEMPO, 1 Januari 1977). "Waktu itu PPKD sudah keluar dari IKP.
Resminya keluar sejak 22 Pebruari 1925", ia menjelaskan.
Mengalami masa-masa pergerakan kebangsaan cukup banyak pahit
getir perjuangan ia terima. "Ketika masih sama-sama dalam BO,
kami dicurigai sebagai pro-Belanda. Padahal kerjasama kan sulit
dilakukan kalau ada kecurigaan", katanya.
Namun ia mengakuibahwa kesadaran politik nasionalnya tumbuh
justru dari orang Belanda, yaitu ketika Pastor van Lith
menerbitkan brosur tahun 1922. Tapi juga lantaran rasa kurang
enak terhadap cara-cara Belanda memerintah. Di masa
kanak-kanakannya dulu ia sering ke rumah kakeknya di Glagah. Di
sana ia menyaksikan para sinder Belanda totok atau Indo yang
over acting. "Pengetahuan mereka sebenamya tak seberapa. Tapi
sikapnya macam ndoro saja", ujar Kasimo. Maka kegiatan van Lith
yang pantang menyerah membela kepentingan pribumi, telah
mempertebal rasa percaya pada diri sendiri.
Tahun 1930, PPKD berubah nama menjadi Persatoean Poelitik
Katolik Indonesia -- sesuai dengan perkembangan agama Katolik
yang waktu itu sudah menyebar ke seluruh Nusantara (Tahun 1915,
30 juta jiwa dari penduduk pulau Jawa, 2.425 di antaranya
beragama Katolik). Sejak 1931, PPKI menduduki satu korsi di
Volksraad (Dewan Rakyat), terpisah dari IKP. Dan sampai Jepang
masuk (1942), wakil PPKI adalah Kasimo. Salah atu pidato Kasimo
(dalam bahasa Belanda) depan sidang Dewan Rakyat 19 Juli 1932
antara lain berbunyi:
"Bersama ini saya menyatakan bahwa suku-suku bangsa Indonesia
yang berkumpul di bawah kekuasaan Negara Belanda menurut kodrat
punya hak untuk memupuk dan membina existensinya sebagai bangsa
sendiri. Dan karenanya mereka punya hak berusaha ke arah
penataan negara sendiri sebagai sarana guna menyelenggarakan
kesejahteraan rakyat sesuai dengan kepentingan nasional, jadi
sesempurna mungkin. Ini mengandung arti, bahwa adalah menjadi
tugas Kerajaan Belanda yang sebagai negara berkebudayaan,
terpanggil untuk membantu rakyat seluruhnya. Dan sebagai negara
penjajah, khusus tertunjuk memimpin serta menyelesaikan
pendidikan bangsa Indonesia dan selanjutnya sesuai dengan
tingkat kemanfaatannya bagi kesejahteraan rakyat, memberikan
wewenang kepada bangsa Indonesia untuk mengurus dan akhirnya
memerintah negara sendiri". Pernyataan Kasimo yang jelas-tegas
itu rupanya mengundang IKP mengeluarkan manifes yang antara lain
menyebutkan bahwa "memerintah negara sendiri tidaklah sama
artinya dengan 'kemerdekaan' bangsa".
Reaksi Kiri
Sejarah hidup Kasimo memang tak bisa lepas dari kebangkitan
politik kaum Katolik Indonesia. Sepanjang hidupnya ia memegang
peran penting dalam menentukan corak pemerintahan dengan
asprasi yang ia bawakan. Apa yang di ungkapkan oleh bekas tokoh
partai Masyumi dan bekas Menlu, Mr. Moh. Roem, tentang Kasimo,
mencerminkan sikap Kasimo yang bersih dan jelas. Roem
mengungkapkannya dalam acara merayakan "Ulangtahun ke-75 Besar"
dari Kasimo tahun lalu di Aula Unika Atmajaya. Begini. Tahun
1947, Belanda tak mematuhi gencatan senjata dan menolak
pengunduran diri dari daerah-daerah yang didudukinya. Sikap AS
di Dewan Keamanan PBB tanggal 9 Oktober pun sangat mengecewakan
fihak Indonesia. AS justru mendukung Belanda.
Kenyataan ini tentu saja mengundang reaksi keras orang-orang
kiri di Indonesla dengan melontarkan kata-kata seperti:
imperialis, kolonialis dan sebagainya. "Tapi tak demikian halnya
dengan Kasimo", tutur Roem malam itu. "Dia menggunakan caranya
sendiri yang menyentuh hati". Dalam sidang DPR 1 Nopember 1947,
Kasimo yang waktu itu Wakil Menteri Kemakmuran dan ketua Partai
Katolik mengemukakan:
"Rakyat Indonesia tidak mengerti mengapa negara-negara besar
tertentu begitu menyolok berfihak kepada Belanda dan menolak
mengakui hak kemerdekaan dan menentukan nasib sendiri bagi
bangsa Indonesia. Padahal mereka sendiri ikut menanda-tangani
Piagam PBB yang mengakui adanya hak-hak itu bagi semua bangsa".
Menurut kesaksian Roem, pernyataan Kasimo yang sederhana itu
justru besar pengaruhnya dalam merubah sikap AS.
Bisa difaham kalau pada malam peringatan ulang-tahunnya itu ia
mendapat penghormatan dan pujian dari sesama rekannya. Tokoh
yang tak kenal kompromi ini malam itu masih sempat duduk
berdampingan (untuk terakhir kali) dengan almarhum Soetardjo,
pencetus "Petisi Soetardjo" yang terkenal itu. "Kasimo adalah
tokoh sederhana dan jujur", ucap drs. Frans Seda malam itu, yang
mewakili umat Katolik. "Jujur dalam arti mengatakan 'ya' secara
terus-terang pada apa yang disetujuinya dan mengatakan 'tidak'
terhadap apa yang ditolaknya".
Sikap itu ditunjukkannya tahun 1959 ketika parpol-parpol
dipanggil Presiden Soekarno ke Istana untuk membicarakan
Demokrasi Terpimpin, sekaligus pembentukan Kabinet Kali Empat.
Walaupun suasana waktu itu sungguh sulit, tapi toh ada 2 orang
yang berani menyatakan 'tidak'. Pertama Moh. Natsir dari Masyumi
yang merumuskan penolakannya dalam sebuah pidato. Kedua Kasimo
yang hanya mengemukakan dengan 2 kata: "tidak setuju". Dan dia
pun mendahului penolakannya dengan.... senyum lebar.
Menghadapi PKI sekitar tahun 1950-1959, ia cukup akrab dengan
tokoh-tokoh Masyumi dan PSI. "Kita ketika itu tertarik pada
perjuangan melawan komunis yang kami anggap merupakan bahaya
paling besar", katanya. Kemudian ketika menghadapi Konsepsi
Presiden Soekarno (1959) yang lebih banyak memberi angin kepada
PKI. Juga dalam hal program beberapa kabinet, baik Masyumi
maupun Partai Katolik sama-sama memperjuangkan kesejahteraan
rakyat dan pendidikan. Kasimo menjabat Menteri Perekonomian pada
Kabinet Burhanuddin Harahap (Masyumi) 12 Agustus 1955 - 25 Maret
1956.
Percaya pada diri sendiri, dalam setiap kerjasama Kasimo tak
pernah ragu dan saling curiga. Itulah sebabnya ia pun akrab
dengan beberapa tokoh Masyumi tadi, seperti Natsir, Roem dan
Prawoto Mangkusasmito. Isteri Prawoto bahkan masih sepupu nyonya
Kasimo. Mengenai ide negara Islam yang sekitar tahun 50-an
santer dalam sidang konstituante, Kasimo menanggapinya
biasa-biasa saja. "Bagaimana pun Islam toh percaya pada
Ketuhanan. Kalaupun mereka berjuang untuk negara Islam, itu
adalah keyakinan mereka. Berjuang atas nama keyakinan sangat
saya hormati", kata Kasimo pekan lalu, di rumahnya yang
sederhana kepada Zulkifly Lubis dari TEMPO.
Kerjasama antar partai seperti itu dibuktikan lagi ketika
Soekarno memaksakan konsepsinya, lalu membubarkan Parlemen hasil
Pemilu 1955. Beberapa partai menentangnya: Masyumi, Partai
Katolik, PSI, NU, IPKI. Bersama Prawoto, Roem, Subadio
Sastrosatomo KHM Dahlan, HJC Princen, Kasimo membentuk Liga
Demokrasi (24 Maret 1960) yang bertujuan menegakkan demokrasi di
Indonesia. Meski umurnya tak begitu lama karena kemudian
dibubarkan Soekarno, namun menurut Kasimo peristiwa itu telah
sempat mempererat hubungan teman-teman seide.
Akibat dibubarkannya Liga Demokrasi -- kemudian Soekarno
membentuk DPR-GR -- secara perlahan-lahan Kasimo pun mulai
meninggalkan gelanggang percaturan politik. Beberapa teman
separtai berpendapat, sebaiknya Kasimo tak lagi menduduki
jabatan ketua umum dan untuk sementara lebih baik tidak tampil
ke muka. Sebagai gantinya dipilih drs. Frans Seda, tokoh muda.
Maka Kasimo pun hanya duduk sebagai anggota DPA, jabatan yang
dipegangnya sejak Agustus 1959.
Gending Di Gereja
Sebagai tokoh awam (bukan ulama) Katolik, Kasimo tak sedikit
berperan mewarnai wajah perkembangan agama Katolik di Indonesia.
Ia menyetujui pendapat Mgr. Soegijopranoto, "agar dalam praktek
melaksanakan aturan agama, ada adaptasi atau penyesuaian sikap".
Artinya, "tanpa mengurangi esensi agama, tidak salah kalau
dilakukan penyesuaian dengan adat-istiadat setempat", tambah
Kasimo. Tapi sebagai orang Jawa, Kasimo tak banyak tahu tentang
Kebatinan atau Kejawen, dan karenanya tidak dapat berkomentar.
Yang pasti, menurut Kasimo, pengaruh Jawa mulai terasa dalam
upacaraupacara sembahyangan di gereja-gereja Katolik. Di sebuah
gereja Sala misalnya, gending-gending Jawa telah menggantikan
suara orgel yang Barat itu. Dan setelah berjuang bertahun-tahun,
kini Kasimo menyayangkan arus pertentangan antar agama yang
semakin terasa. "Dan itu terjadi di tengah gencarnya kampanye
kerukunan agama. Tapi itu juga akibat sikap beberapa oknum yang
ovet actzng", katanya.
Ia menunjuk kasus di Serang. DPRD Kabupaten Serang, katanya,
telah melarang dilakukannya upacara keagamaan di luar tempat
ibadah. "Aturan seperti itu berbeda sekali dengan jaman dulu",
katanya. "Saya sendiri kurang mengerti mengapa bisa terjadi
begitu. Kalau itu dikeluarkan oleh rakyat yang tak mengerti, apa
boleh buat", tambahnya. Di Cilegon, Serang, karena belum ada
gereja, umat Katolik di sana menggunakan gedung sekolah sebagai
tempat beribadat. Dan inilah yang dilarang.
Kasimo lalu membandingkan kehidupan rukun di masa-masa lalu. Di
Serang, ketika Hussein Djajadiningrat menjadi tokoh PSII,
Pangeran itu telah mencalonkan Pastor van Lith sebagai wakil
dalam Dewan Rakyat. Tak heran kalau keadaan sekarang ini
merisaukan Kasimo. Itulah sebabnya, sekarang ia menganjurkan
agar setiap orang dari berbagai agama lebih banyak saling
bergaul. "Dengan begitu kerukunan agama bisa tercapai", katanya.
Selain kecurigaan bisa hilang sendirinya, dianjurkannya pula
agar mempelajari ajaran agama lain, hingga bisa memahami
keyakinan orang lain. "Petugas pemerintah pun hendaknya bersikap
adil dalam melihat persoalan agama", tambahnya.
Satu hal yang tampaknya belum banyak diketahui ialah, bahwa
dalam sikap politiknya Kasimo selalu berpegang pada dasar-dasar
Ensiklik Paus Leo XIII. Yaitu Reirum Novarum (kemudian
diperbaharui dalam Ensiklik Paus Pius XI, Quadragessimo Anno)
yang menekankan keadilan sosial. Dengan dasar inilah Partai
Katolik menempatkan diri dalam "aliran solidarisme" menentang
liberalisme, komunisme, kapitalisme. "Kekuasaan di tangan satu
kelas (komunisme) atau kekuasaan yang dibayar oleh uang kaum
majikan (kapitalisme), juga liberalisme, kita tentang", ujar
Kasimo.
Tentang Pemilu yang akan datang, sesepuh Partai Demokrasi
Indonesia ini tak banyak bicara. Ia cuma berharap "agar Pemilu
berlangsung secara bebas, rahasia, dan adil".