maaf email atau password anda salah

Satu Akun, Untuk Semua Akses

Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini

Satu Akun, Untuk Semua Akses


Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke [email protected].

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Satu Akun, Untuk Semua Akses

Masukan alamat email Anda, untuk mereset password

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link reset password melalui email ke [email protected].

Ubah No. Telepon

Ubah Kata Sandi

Topik Favorit

Hapus Berita

Apakah Anda yakin akan menghapus berita?

Ubah Data Diri

Jenis Kelamin

Pilkada 2024: Lupakan Jokowi

PDIP mesti menjauhkan faktor Jokowi dalam pilkada 2024 seraya menolak berkoalisi dengan Prabowo. Demi demokrasi.

arsip tempo : 172882663813.

Pilkada 2024: Lupakan Jokowi. tempo : 172882663813.

SEANDAINYA Prabowo Subianto menyatakan tak akan cawe-cawe dalam pemilihan kepala daerah sebelum putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70 Tahun 2024, ia bisa kita sebut negarawan. Presiden terpilih itu baru menyatakan sikapnya setelah hakim konstitusi memutuskan usia calon kepala daerah dalam Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah minimal 30 tahun terhitung sejak kandidat mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum. 

Putusan MK pada 20 Agustus 2024 itu memupus peluang Kaesang Pangarep, anak bungsu Presiden Joko Widodo, menjadi kandidat gubernur di daerah mana pun. Kaesang baru berusia 30 saat pelantikan kepala daerah pada Februari tahun depan. Karena itu, putusan ini menutup cabang baru dinasti politik Jokowi, setelah anak sulungnya menjadi wakil presiden terpilih, menantunya menjadi calon Gubernur Sumatera Utara, dan para ajudannya menjadi calon bupati atau wali kota. 

Tak lama setelah putusan MK itu, Prabowo membiarkan anak buahnya di Partai Gerindra bahu-membahu menggagalkan putusan melalui pembuatan Undang-Undang Pilkada yang baru di Dewan Perwakilan Rakyat. Upaya menganulir putusan MK itu mendapat penolakan publik melalui demonstrasi di banyak daerah.

Rapat paripurna DPR pada 22 Agustus 2024 gagal mengesahkan aturan baru itu karena tak mencapai kuorum. Keputusan KPU tentang pemilihan kepala daerah pun mengacu pada putusan MK tersebut, termasuk soal ambang batas suara partai untuk bisa mengusung calon kepala daerah. Dengan putusan itu, PDI Perjuangan bisa mengajukan Pramono Anung-Rano Karno.

Putusan MK tersebut sekaligus membuyarkan skenario Koalisi Indonesia Maju + Partai Keadilan Sejahtera yang hendak memonopoli pilkada. Mereka mengusung Ridwan Kamil-Suswono dengan target menjadi calon tunggal atau menghadirkan calon boneka lewat kandidat tanpa partai. Kini kandidat KIM plus, kumpulan partai pendukung Jokowi dan Prabowo, punya lawan sepadan dari PDIP.

Dalam rapat pimpinan nasional Partai Gerindra di Gelora Bung Karno pada 31 Agustus 2024, Prabowo mengatakan persaingan dalam pemilu itu bagus karena rakyat jadi punya pilihan. Pernyataan yang mengacu pada pilkada Jakarta itu bisa dibaca sebagai sikap realistis Prabowo setelah DPR gagal menganulir putusan MK. Kemungkinan lain: Prabowo hendak merangkul PDIP sekaligus menandai keretakannya dengan Jokowi yang berkonflik dengan partai pimpinan Megawati Soekarnoputri itu.

Prabowo memang selayaknya menjauhi Jokowi. Sentimen negatif publik kepada Jokowi karena merusak demokrasi dan memaksakan dinasti politik keluarganya akan jadi beban bagi pemerintahannya kelak. Lagi pula Jokowi pensiun pada 20 Oktober 2024 dan dipecat PDIP. Setelah tanggal itu, ia tak lagi punya kekuatan secara politik.

Maka Pramono Anung yang meminta restu Jokowi maju dalam pemilihan Gubernur Jakarta patut dikritik. Selain tak lagi relevan saat pilkada berlangsung, Jokowi punya catatan buruk tak netral pada pemilihan presiden Februari lalu. Ia bertanggung jawab dalam pengerahan aparatur negara dan memaksakan bantuan sosial untuk memenangkan Prabowo yang berpasangan dengan anaknya, Gibran Rakabuming Raka.

Bagi PDIP, menjauhi Jokowi bisa memberikan keuntungan elektoral. Dalam banyak survei, pemilih Jakarta menempatkan elektabilitas Anies Baswedan tertinggi dibanding nama-nama lain. Anies dicitrakan sebagai lawan Jokowi dan Prabowo. Karena itu, alih-alih mencoba mendapatkan dukungan Jokowi atau Prabowo, akan lebih menguntungkan bagi PDIP menggarap sentimen anti-keduanya yang menjagokan Ridwan-Suswono.

Dengan begitu, demokrasi bisa diselamatkan. Koalisi besar Jokowi-Prabowo mendapat penyeimbang sepadan dan prinsip checks and balances bisa dijalankan. 

Sebagai pemenang Pemilu 2024 dengan 25,4 juta atau 16,7 persen suara, PDIP bisa menjadi oposan pemerintahan Prabowo. Jika PDIP tergoda menyambut uluran tangan presiden terpilih untuk bergabung dalam pemerintahan, demokrasi Indonesia akan kembali terancam. Tanpa sikap oposisi yang teguh, pendulum politik hanya berayun dari Jokowi ke Prabowo belaka.

Berita Lainnya

Konten Eksklusif Lainnya

  • 13 Oktober 2024

  • 6 Oktober 2024

  • 29 September 2024

  • 22 September 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan