Cegah Pimpinan KPK Titipan Istana
Seleksi pimpinan KPK dipaksakan kelar di ujung masa jabatan DPR dan Jokowi. Waspadai calon titipan Istana.
PRESIDEN Joko Widodo tidak lagi memiliki legitimasi moral untuk menentukan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi mendatang. Bukan hanya karena masa jabatannya yang tinggal menghitung hari, melainkan juga lantaran permainan kekuasaan Jokowi selama ini telah menimbulkan kerusakan besar terhadap KPK.
Di masa pemerintahan Jokowi, KPK benar-benar menyimpang dari mandat awalnya sebagai lembaga antikorupsi yang independen. Bersekongkol dengan Dewan Perwakilan Rakyat melalui revisi Undang-Undang KPK, pemerintahan Jokowi melucuti wewenang lembaga antirasuah tersebut dan menjadikannya bagian dari rumpun eksekutif. Pemilihan pimpinan KPK pun tak ubahnya permainan untuk melanggengkan kekuasaan.
Celakanya, bau permainan kekuasaan kembali tercium dalam seleksi calon pimpinan KPK periode 2024-2029. Melalui panitia seleksi, tangan-tangan kekuasaan diduga kuat meloloskan calon pemimpin KPK yang rekam jejaknya dipenuhi masalah, sekaligus menjegal calon dengan latar belakang kuat sebagai pegiat antikorupsi.
Indikasinya, daftar 20 calon pemimpin KPK yang lolos tes asesmen profil didominasi penegak hukum, seperti polisi, jaksa, dan hakim. Idealnya, KPK yang dibentuk sebagai koreksi atas buruknya penegakan hukum dipimpin oleh akademikus independen atau ahli hukum yang memiliki reputasi baik dalam gerakan antikorupsi.
Panitia seleksi akan kembali menyaring dan menyerahkan nama sepuluh calon pemimpin KPK kepada Presiden. Selanjutnya, Presiden akan mengirimkan sepuluh nama tersebut kepada DPR untuk diuji kelayakan dan kepatutannya. Yang mencurigakan, ada gelagat proses seleksi calon pimpinan KPK dipaksakan untuk rampung sebelum Jokowi turun takhta dan sebelum DPR periode ini mengakhiri masa jabatan pada 1 Oktober nanti.
Pemaksaan pemilihan calon pimpinan KPK di pengujung masa jabatan Presiden dan DPR tak hanya menjauhkan harapan publik akan pemulihan independensi KPK, tapi juga membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan. Barisan pendukung Jokowi di DPR bisa saja memilih pemimpin KPK yang justru akan melindungi Presiden dan keluarganya dari jerat hukum di kemudian hari.
Kecurigaan semacam itu tidak berlebihan. Di akhir masa jabatan Jokowi, nama anggota keluarganya satu per satu mulai terseret ke pusaran dugaan kasus korupsi. Misalnya, KPK menerima laporan dugaan gratifikasi berupa fasilitas pesawat jet pribadi dari pengusaha untuk anak bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep, serta menantunya, Bobby Nasution. Bahkan nama Bobby juga disebut-sebut dalam sidang korupsi bekas Gubernur Maluku Utara, Abdul Ghani Kasuba.
Prabowo Subianto, presiden terpilih yang akan dilantik pada Oktober nanti, seharusnya berkepentingan menunda pemilihan pimpinan KPK. Melalui perwakilan Partai Gerindra dan partai koalisinya di DPR, Prabowo semestinya menghentikan sementara proses seleksi calon pimpinan KPK hingga anggota DPR periode 2024-2029 dilantik.
Baca artikelnya:
Dengan begitu, Prabowo tak hanya memiliki kesempatan ikut menentukan pengganti pimpinan KPK saat ini, yang masa jabatannya akan berakhir pada 20 Desember nanti. Prabowo pun tidak perlu menanggung akibat buruk kesalahan memilih pimpinan KPK yang diwariskan Jokowi.