maaf email atau password anda salah

Satu Akun, Untuk Semua Akses

Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini

Satu Akun, Untuk Semua Akses


Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Satu Akun, Untuk Semua Akses

Masukan alamat email Anda, untuk mereset password

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link reset password melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Ubah No. Telepon

Ubah Kata Sandi

Topik Favorit

Hapus Berita

Apakah Anda yakin akan menghapus berita?

Ubah Data Diri

Jenis Kelamin

Benarkah Privatisasi BUMN Lebih Bermaslahat

Pemerintah berencana mempercepat privatisasi BUMN. Stop pengucuran anggaran untuk perusahaan negara.

arsip tempo : 173057641199.

Karena Negara Bukan Pelaku Niaga. tempo : 173057641199.

UPAYA pemerintah mengkonsolidasikan badan usaha milik negara merupakan langkah rasional di tengah banyaknya perusahaan negara yang membebani anggaran. Saatnya pemerintah menghentikan pengucuran anggaran negara untuk BUMN.

Kementerian Badan Usaha Milik Negara kembali menggulirkan rencana pengurangan jumlah perusahaan pelat merah. Saat ini terdapat 41 perseroan, tapi yang menghasilkan keuntungan cuma 25. Sisanya merupakan "parasit" yang hidup dari pendanaan BUMN lain atau mengandalkan penyertaan modal negara—diusulkan Rp 57 triliun untuk 2024 dan 2025. Targetnya, hanya ada 30-an perusahaan negara hingga akhir tahun depan.

Serangkaian transformasi yang berlangsung sejak 2020 ini tidak semata bertujuan membentuk holding. Ada juga skema privatisasi alias penjualan BUMN kepada pihak swasta. Presiden terpilih, Prabowo Subianto, menyebut perhotelan sebagai sektor ekonomi yang tidak perlu dioperasikan langsung oleh negara.

Kita tidak perlu alergi terhadap privatisasi, apalagi mengaitkannya dengan nasionalisme. Penswastaan kerap membawa banyak manfaat, dari efisiensi operasional, dorongan inovasi, hingga peningkatan kualitas produksi. Hasil penjualan saham BUMN dapat pemerintah alokasikan untuk mengembangkan pelayanan publik.

Penswastaan perusahaan pelat merah merupakan langkah korporasi yang berlangsung di banyak negara. Di Jepang dan Inggris, misalnya, Japan Airlines dan British Airways sudah lama menjadi perusahaan swasta. Toh, nama negara tetap bisa dipertahankan meski keduanya tak lagi menjadi maskapai penerbangan nasional atau flag carrier.

Sebaliknya, mempertahankan suatu badan usaha di bawah ketiak pemerintah lebih banyak mudaratnya. Kerugian yang paling nyata adalah beban penugasan. BUMN kerap diwajibkan menjalankan proyek pemerintah, meski tidak layak secara komersial. Walhasil, perusahaan itu merugi. Ujung-ujungnya, negara pula yang harus menalangi kerugian tersebut. Contohnya PT Hutama Karya. Perseroan pengembang infrastruktur ini merugi hingga Rp 2 triliun per tahun akibat beban bunga dan amortisasi jalan tol Trans Sumatera. 

Persoalan seperti itu tidak akan muncul jika perusahaan ditangani swasta. Maka privatisasi BUMN merupakan langkah yang tepat. Hakikat privatisasi BUMN tertera dalam Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, yaitu meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas kepemilikan saham oleh masyarakat. 

Maka, sebelum pelepasan saham, perlu ada kajian menyeluruh untuk memastikan manfaat-manfaat itu bisa tercapai. Pelaksanaannya pun harus adil dan transparan. Jangan sampai penswastaan malah hanya mengalihkan kepemilikan kepada kroni-kroni penguasa.

Pemerintah juga perlu memikirkan ulang kebijakan pengelompokan BUMN. Garuda Indonesia dipertimbangkan masuk InJourney, holding BUMN sektor pariwisata. Grup perusahaan ini sudah kelewat besar. Di dalamnya ada PT Angkasa Pura sebagai pengelola bandar udara, PT Pengembangan Pariwisata Indonesia, hingga PT Sarinah sebagai peretail. Praktik ini tidak menciptakan kompetisi yang sehat dan mengarah pada monopoli. Grup besar ini dibentuk pada 2021 dan menelan penyertaan modal negara lebih dari Rp 10 triliun, termasuk untuk menambal ongkos penyelenggaraan MotoGP 2022 di Mandalika, Nusa Tenggara Barat, yang boncos Rp 200 miliar.

Sudah waktunya negara tidak lagi terbebani urusan-urusan korporasi. Cukuplah pemerintah berperan sebagai regulator, bukan operator bisnis. Ibarat turnamen olahraga, adanya pemain yang merangkap panitia dipastikan menghasilkan pertandingan yang tidak bermutu.

Di edisi cetak, artikel ini berjudul "Karena Negara Bukan Pelaku Niaga". 

Berita Lainnya

Konten Eksklusif Lainnya

  • 27 Oktober 2024

  • 20 Oktober 2024

  • 13 Oktober 2024

  • 6 Oktober 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan