maaf email atau password anda salah

Satu Akun, Untuk Semua Akses

Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini

Satu Akun, Untuk Semua Akses


Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Satu Akun, Untuk Semua Akses

Masukan alamat email Anda, untuk mereset password

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link reset password melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Ubah No. Telepon

Ubah Kata Sandi

Topik Favorit

Hapus Berita

Apakah Anda yakin akan menghapus berita?

Ubah Data Diri

Jenis Kelamin

Mengapa Kenaikan Pajak Hiburan Ditolak

Kenaikan pajak hiburan ditolak karena pajak pertambahan nilai akan naik menjadi 12 persen mulai tahun depan. Mengancam keberlangsungan usaha.

arsip tempo : 171470396175.

Main Cepat Menaikkan Pajak. tempo : 171470396175.

KENAIKAN pajak hiburan menjadi bukti teranyar buruknya manajemen perpajakan Indonesia. Pemerintah ingin menempuh cara mudah mengisi pundi-pundi negara tanpa memikirkan dampak panjangnya. Tujuan utamanya, yaitu meningkatkan pendapatan pajak, malah sulit tercapai.

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat menyepakati kenaikan pajak hiburan lewat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pada Pasal 58 ayat 2, tertera tarif pajak barang dan jasa tertentu diskotek, karaoke, klub malam, bar, dan spa terendah 40 persen dan tertinggi 75 persen. Ketentuan tersebut paling lambat diberlakukan pemerintah daerah per 1 Januari 2024. Dalam aturan sebelumnya, hanya tertera angka maksimal 75 persen dan tak ada ketentuan batas bawah. 

Tanpa kenaikan pun pajak hiburan Indonesia merupakan yang tertinggi di kawasan Asia Tenggara. Di Thailand, yang ekonominya digerakkan oleh pariwisata, misalnya, diskotek dikenai cukai bertarif 5 persen. Di Malaysia, tempat hiburan dikenai service tax 6 persen. Adapun Filipina mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) 18 persen, lebih tinggi dari PPN sektor lain yang sebesar 12 persen. Bandingkan dengan DKI Jakarta yang sebelumnya menerapkan pajak 25 persen buat diskotek, karaoke, klub malam, dan bar serta 35 persen untuk spa. Kenaikannya drastis. 

Menaikkan tarif dengan harapan menambah pendapatan pajak merupakan cara pikir yang keblinger. Apalagi ketika pajak itu sudah tinggi. Pada titik tertentu, konsumen akan meninggalkan industri hiburan karena harga yang kelewat mahal. Dampaknya bisa mengguncang 20 juta pekerja di sektor tersebut.

Kenaikan tarif juga akan berlaku pada PPN menjadi 12 persen. Ketentuan ini tertera dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Aturan ini menaikkan PPN dari 10 persen menjadi 11 persen mulai 2022, lalu menjadi 12 persen per 2025.

Angka itu tergolong tinggi karena rata-rata PPN—dipakai di 175 negara—adalah 10 persen, di luar Uni Eropa yang membatasi paling rendah 15 persen. Di Asia Tenggara, hanya Filipina yang menetapkan PPN 12 persen. Sedangkan Malaysia, Singapura, dan Thailand hanya mengenakan 7 persen. Kenaikan PPN merupakan bentuk ketidakadilan. Sebab, PPN adalah pajak langsung yang dikenakan terhadap semua orang tanpa diskriminasi, termasuk masyarakat miskin yang mengkonsumsi barang dan jasa. 

Bagi negara dengan tingkat konsumsi tinggi seperti Indonesia, kenaikan pajak jenis ini membebani daya beli masyarakat dan mengurangi jumlah konsumsi publik. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi terancam melambat.

Langkah pemerintah, yang disetujui DPR, seperti kehabisan akal meningkatkan rasio meningkatkan rasio perpajakan terhadap produk domestik bruto (PDB). Pada 2023, tax ratio Indonesia sebesar 10,21 persen—turun sedikit dari 10,39 persen pada 2022. Angka ini jauh di bawah rekomendasi Dana Moneter Internasional (IMF) yang menyatakan tax ratio minimal 15 persen agar pembangunan bisa berkesinambungan. 

Pemerintah sepertinya lupa bahwa kunci meraih tax ratio yang sehat adalah perbaikan manajemen perpajakan, dari pemungutan, pengelolaan, sampai pemanfaatan pajak. Nyatanya, pengawasan serta penegakan hukum pajak masih lemah, angka korupsi tetap tinggi, dan pemanfaatannya sesuka hati penguasa. Misalnya: membangun ibu kota baru senilai Rp 466 triliun. 

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Main Cepat Menaikkan Pajak"

Berita Lainnya

Konten Eksklusif Lainnya

  • 28 April 2024

  • 21 April 2024

  • 14 April 2024

  • 7 April 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan