Main Terjang di Pulau Rempang
Pemerintah akan menyulap Pulau Rempang menjadi kawasan industri dan komersial. Masyarakat lokal kembali menjadi korban.
SALAH satu tujuan investasi adalah mengungkit pertumbuhan ekonomi untuk menciptakan kesejahteraan orang banyak. Tapi di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, masuknya pemodal asing dan domestik justru menjauhkan masyarakat dari cita-cita luhur tersebut.
Bekerja sama dengan PT Makmur Elok Graha sejak 2004, Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam) hendak membangun kawasan industri, pariwisata, dan komersial. Proyek bernama Rempang Eco-City ini akan menggusur dan merelokasi ribuan penduduk. Pada 7 September 2023, bentrokan aparat keamanan dan penduduk pulau pecah karena warga menolak pengukuran tanah dan pemasangan patok oleh BP Batam.
Penggunaan kekerasan, apa pun dalihnya, tidak dibenarkan. Bentrokan bisa dihindari bila pemerintah mengedepankan dialog dan musyawarah sejak awal. Tanpa proses inklusif dan transparan, pengembangan kawasan industri Rempang rentan diselewengkan demi kepentingan segelintir orang.
Pengukuran dan pemasangan patok yang memicu kericuhan itu terjadi sepuluh hari setelah Menteri Airlangga Hartarto mengubah daftar proyek strategis nasional lewat Peraturan Menteri Koordinator Perekonomian Nomor 7 Tahun 2023. Meski ditentang masyarakat adat, Rempang Eco-City masuk daftar itu.
“Naik kelasnya” proyek Rempang Eco-City tak lepas dari perjanjian PT Makmur Elok, anak usaha Grup Artha Graha milik pengusaha Tomy Winata, dengan Xinyi International Investment Limited sebulan sebelumnya. Perusahaan ini berjanji mendatangkan investasi US$ 17,5 miliar atau setara dengan Rp 264 triliun untuk membangun industri kaca dan panel surya terintegrasi di Rempang.
Sempat mati suri, pengembangan Pulau Rempang berdenyut kembali di era pemerintahan Presiden Joko Widodo, yang menyaksikan penandatanganan kesepakatan antara Artha Graha dan Xinyi di Chengdu, Cina, pada akhir Juli lalu. Dua tahun terakhir, dukungan pemerintah pusat untuk PT Makmur Elok makin besar. Menteri Airlangga mengirim surat kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk mempercepat persetujuan pelepasan kawasan hutan di Rempang. Sokongan serupa datang dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang.
Perlakuan khusus ini kontras dengan apa yang dialami penduduk pulau. Lebih dari dua dekade, mereka tidak bisa mengurus status hak atas tanah. Padahal masyarakat tradisional Rempang menempati perkampungan tua di sana sejak 1843, jauh sebelum pemerintah memasukkan daerah ini ke daftar pengembangan wilayah Kota Batam. Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia pada 1975 mendapati keberadaan suku Utan, suku terasing yang hampir punah.
Masyarakat Rempang sebenarnya tidak menolak pembangunan dan investasi, seperti narasi pemerintah. Penduduk menentang cara pemerintah menggunakan kekerasan untuk menggusur mereka.
Pertanyaannya, seberapa banyak lapangan kerja yang bisa tercipta dari investasi di Rempang? Pengalaman menunjukkan proyek yang melibatkan investor Cina, seperti di Konawe dan Morowali, menghasilkan sedikit lapangan kerja. Pekerja Cina malah berjibun di sana.
Sejumlah studi juga menunjukkan melejitnya nilai investasi tidak otomatis menaikkan jumlah lapangan kerja. Pada 2013, realisasi investasi Rp 400 triliun menciptakan 1,83 juta lapangan kerja. Pada 2022, dengan realisasi investasi Rp 1.207 triliun, lapangan kerja yang tercipta hanya 1,3 juta. Tren penurunan ini tampak dalam sepuluh tahun terakhir.
Baca liputannya:
- Tangan Jakarta dan Tomy Winata di Pulau Rempang
- Siapa Xinyi, Perusahaan Cina yang Akan Membangun Pabrik Kaca di Rempang Eco-City
- Reportase Pulau Rempang Setelah Kerusuhan: Mencekam
- Wawancara BP Batam: Ini Perintah Pemerintah Pusat
- Wawancara Tomy Winata: Ini Hanya Miskomunikasi
- Kolom Bivitri Susanti: Problem Hak Menguasai oleh Negara
Keberhasilan investasi diukur dari seberapa besar sebuah proyek menciptakan lapangan kerja, menghasilkan nilai tambah, melahirkan rantai produksi yang panjang, serta tak merusak lingkungan.
Investasi di Pulau Rempang sudah pasti menggilas lingkungan karena lokasi Eco-City beririsan dengan kawasan hutan dan suaka alam. Padahal investasi yang merusak lingkungan akan menggerus ekonomi secara keseluruhan yang akibatnya di tanggung masyarakat.