Mengapa Subsidi Kendaraan Listrik Keliru
Pemerintah hanya bergantung pada pemberian subsidi dan insentif untuk mendorong industri kendaraan listrik. Pembangunan ekosistem terabaikan.
HARAPAN pemerintah menggerakkan pasar kendaraan listrik di Tanah Air lewat pemberian subsidi dan insentif bisa berujung seperti menggantang asap. Industri tersebut lebih membutuhkan ekosistem yang baik ketimbang semata kebijakan parsial yang berpotensi hanya menguntungkan segelintir pebisnis.
Sejak 1 April lalu, pemerintah telah memulai skema insentif bagi pembelian kendaraan listrik. Mobil listrik yang memenuhi syarat tingkat kandungan dalam negeri mendapat diskon pajak pertambahan nilai sebesar 10 persen. Kebijakan ini membuat harga mobil, bus, dan sepeda motor listrik lebih murah dan diharapkan mendorong makin banyak minat konsumen.
Tampak tidak ada yang ganjil dari kebijakan tersebut. Semua negara yang ingin menggerakkan ekosistem pasar kendaraan listrik melakukan hal yang sama. Bahkan, jika dibandingkan dengan negara-negara maju di Amerika Utara, Eropa, dan Asia Timur, upaya Indonesia ini hanya seujung kuku.
Amerika Serikat, Eropa, dan Cina jorjoran membebaskan pajak dan memberikan subsidi kepada produsen mobil listrik. Konsumen juga bebas dari pajak penjualan serta pajak pertambahan nilai. Strategi itu jitu, membuat pasar kendaraan listrik mereka melompat pesat. Pasar kendaraan listrik Cina kini mencapai 6,8 juta per tahun pada 2022. Industri mobil listrik Amerika Serikat tumbuh tinggi mencapai 800 ribu pada 2022.
Beralasan ingin mengambil kesempatan sekali seumur hidup, Indonesia mengikuti langkah negara-negara maju tersebut. Status sebagai negara dengan deposit terbesar nikel, yang menjadi bahan baku utama baterai kendaraan listrik, makin menambah keyakinan pemerintah bisa menjadi pemain utama otomotif dunia.
Namun mimpi besar itu hanya diiringi kebijakan pemberian subsidi dan insentif. Pemerintah seperti ingin menempuh jalan pintas, dengan mengabaikan penyiapan infrastruktur yang mendorong terbentuknya ekosistem yang adil dan efisien. Contoh paling nyata adalah masih langkanya stasiun pengisian kendaraan listrik umum. Padahal kurangnya ketersediaan pasokan listrik menjadi pengganjal minat konsumen beralih dari kendaraan konvensional.
Indonesia semestinya bisa meniru langkah pemerintah Cina yang menggerakkan pasar kendaraan listrik dengan komprehensif. Negara Tirai Bambu mengangkat seorang engineer otomotif Audi menjadi Menteri Ilmu dan Teknologi untuk menyiapkan program jangka panjang elektrifikasi kendaraan.
Baca liputannya:
- Konglomerat dan Politikus di Belakang Bisnis Kendaraan Listrik
- Salah Sasaran Subsidi Kendaraan Listrik
- Gairah Industri Konversi Kendaraan Listrik
Cina kemudian memberikan subsidi dan insentif pajak kepada semua perusahaan yang mau memproduksi kendaraan listrik. Di sisi lain, mereka menerapkan pajak tinggi dan pembatasan pelat nomor bagi kendaraan berbahan bakar energi fosil. Untuk membantu kelangsungan hidup perusahaan kendaraan listrik di fase awal, pemerintah Cina pun memberikan kontrak pengadaan bus listrik untuk transportasi umum.
Agar tidak menjadi sia-sia, Presiden Joko Widodo perlu segera merombak total arah kebijakan pengembangan kendaraan listrik. Pembuatan kebijakan publik yang sistematis untuk membangun ekosistem jauh lebih dibutuhkan ketimbang hanya menggelontorkan subsidi dan insentif yang selama ini sudah terbukti rawan penyimpangan.