maaf email atau password anda salah

Satu Akun, Untuk Semua Akses

Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini

Satu Akun, Untuk Semua Akses


Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Satu Akun, Untuk Semua Akses

Masukan alamat email Anda, untuk mereset password

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link reset password melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Ubah No. Telepon

Ubah Kata Sandi

Topik Favorit

Hapus Berita

Apakah Anda yakin akan menghapus berita?

Ubah Data Diri

Jenis Kelamin

Sentralisasi Kekuasaan dalam Omnibus RUU Kesehatan

RUU Kesehatan memberi mandat kepada Kementerian Kesehatan mengatur sektor kesehatan dari hulu sampai hilir. Pemusatan yang berlebihan.

arsip tempo : 173058339398.

Sentralisasi Kekuasaan di RUU Kesehatan. tempo : 173058339398.

MASALAH serius yang muncul dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang Kesehatan dengan metode omnibus adalah upaya pemusatan kekuasaan. Sebagaimana Undang-Undang Cipta Kerja yang menarik kewenangan berbagai lembaga ke pemerintah pusat, omnibus RUU Kesehatan menetapkan segala urusan kesehatan di bawah kontrol Kementerian Kesehatan.

Menteri Kesehatan, antara lain, akan berwenang menentukan standar pendidikan kedokteran, mengesahkan surat tanda registrasi, hingga menerbitkan surat izin praktik bagi tenaga kesehatan. Pengaturan pendidikan dan pendaftaran calon dokter tersebut memang merupakan salah satu terobosan dalam RUU Kesehatan yang diklaim bakal menambah jumlah dokter.

Selama ini, pendidikan calon dokter umum dan spesialis sangat mahal. Izin praktik dan registrasi dokter pun sulit diperoleh, khususnya bagi dokter lulusan luar negeri. Organisasi profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang menerapkan aturan ketat merupakan penghalang masuknya dokter-dokter baru. Akibatnya, jumlah dokter jauh dari mencukupi. Penyebarannya pun tak merata.

Draf omnibus law kesehatan yang beredar menghapus ketentuan rekomendasi IDI dalam proses penerbitan izin praktik dokter. Kementerian Kesehatan yang menyusun draf berdalih, perubahan itu merupakan upaya menyederhanakan birokrasi. Perubahan tersebut semestinya dilakukan dengan membangun sistem serta prosedur pendaftaran yang transparan dan akuntabel. Persoalan birokrasi yang ruwet tetap akan terjadi jika perubahan hanya dilakukan dengan menghapus kewenangan organisasi profesi.

RUU Kesehatan pun menjadikan Menteri Kesehatan membawahkan sejumlah lembaga yang sebelumnya independen. Di antaranya Konsil Kedokteran Indonesia, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), serta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan . Ketiga lembaga itu selama ini bertanggung jawab kepada presiden. Penempatan lembaga tersebut di bawah menteri justru berpotensi menimbulkan benturan kepentingan dan korupsi.

Potensi korupsi dapat terjadi pada penyelenggaraan program jaminan sosial karena BPJS Kesehatan mengelola iuran peserta yang mencapai ratusan triliun rupiah. Penyelewengan akan menghambat program jaminan sosial dan peserta BPJS Kesehatan yang bakal menanggungnya. Boleh jadi Kementerian Kesehatan memakai dalih pengawasan untuk menempatkan BPJS Kesehatan di bawah strukturnya. Tapi pengawasan tak harus dilakukan Kementerian karena telah ada lembaga lain seperti Dewan Jaminan Sosial Nasional dan Otoritas Jasa Keuangan.

Urgensi Kementerian Kesehatan menarik BPOM patut dipertanyakan. Pada Oktober 2022, kasus gagal ginjal akut yang menimpa lebih dari 200 anak di 22 provinsi menunjukkan kelemahan dua lembaga itu. Pemusatan birokrasi pengawasan obat di Kementerian tak menjamin kasus serupa tak berulang.

Bukan cuma sentralisasi kewenangan, RUU Kesehatan yang diajukan secara omnibus berpotensi menyebabkan hal yang rinci menjadi luput karena menyasar banyak isu. Persoalan ini antara lain dapat terjadi pada tumpang-tindih, penyelundupan, atau penghilangan pasal. Fokus pemerhati sektor kesehatan kini tertuju pada pasal tentang produk tembakau yang digolongkan sebagai zat adiktif sebagaimana narkotik.

Pasal yang mengatur produk tembakau itu jangan sampai lenyap seperti dalam penyusunan Undang-Undang Kesehatan pada 2009. Pasal tembakau di RUU Kesehatan tak bisa dikompromikan karena mengendalikan konsumsi dan produksi rokok yang jelas-jelas berdampak negatif bagi kesehatan.

Omnibus law kesehatan dirasakan manfaatnya jika mampu menjamin dan menyediakan layanan kesehatan yang prima bagi masyarakat. Hal itu terjadi jika Kementerian Kesehatan berkolaborasi dengan berbagai lembaga, alih-alih menempatkan mereka di bawah kendali Kementerian. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat tak perlu buru-buru mengesahkan regulasi ini untuk melibatkan partisipasi publik seluas-luasnya.

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Sentralisasi Kekuasaan di RUU Kesehatan"

Berita Lainnya

Konten Eksklusif Lainnya

  • 27 Oktober 2024

  • 20 Oktober 2024

  • 13 Oktober 2024

  • 6 Oktober 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan