maaf email atau password anda salah

Satu Akun, Untuk Semua Akses

Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini

Satu Akun, Untuk Semua Akses


Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Satu Akun, Untuk Semua Akses

Masukan alamat email Anda, untuk mereset password

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link reset password melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Ubah No. Telepon

Ubah Kata Sandi

Topik Favorit

Hapus Berita

Apakah Anda yakin akan menghapus berita?

Ubah Data Diri

Jenis Kelamin

Mengapa Polri Tak Membongkar Jaringan AKBP Achiruddin Hasibuan?

Kepolisian cenderung melindungi anggotanya yang terlibat perkara. Kegagalan reformasi Polri.

arsip tempo : 171406529650.

Lembek Hukum terhadap 'Oknum'. tempo : 171406529650.

PADA sejumlah perkara yang melibatkan anggotanya, penegakan hukum di kepolisian hanya bertujuan menghentikan berita yang viral di media sosial. Karena kasusnya disorot publik, polisi yang dipersoalkan bisa saja dikerangkeng. Tapi kejahatan yang diusut tergolong ringan. Sedangkan perkara lebih berat dibiarkan melenggang begitu saja.

Kasus Ajun Komisaris Besar Achiruddin Hasibuan bisa masuk kategori ini jika Kepolisian Daerah Sumatera Utara hanya menjadikan dia sebagai tersangka karena membiarkan anaknya menganiaya seorang mahasiswa. Pengusutan perkara ini jadi serba cepat setelah video penganiayaan tersiar pada 25 April lalu, lebih dari empat bulan sejak kasus dilaporkan ke kepolisian. Agaknya polisi baru bertindak jika kasus digunjingkan warganet lebih dulu.

Sampai di sini polisi seperti telah menunaikan tugasnya dengan baik. Proses hukum perkara penganiayaan bergulir. Achiruddin dipecat dan dijadikan tersangka. Anaknya, Aditya, malah lebih dulu jadi tersangka dan ditahan.

Namun, untuk perkara lain, polisi tak bergegas mengusutnya. Setelah kekayaan Achiruddin disorot, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan memblokir rekening dia dan anaknya. Isi rekening Achiruddin yang mencapai puluhan miliar rupiah tak sesuai dengan profilnya sebagai perwira menengah.

Polisi menyatakan telah menemukan pintu masuk untuk mengusut pencucian uang. Ada aliran uang Rp 7,5 juta tiap bulan yang disetor perusahaan pemasok bahan bakar industri. Namun menjadikan gratifikasi tersebut semata-mata sebagai tindak pidana asal pencucian uang akan tak masuk nalar. Jika dihitung sejak 2018, sebagaimana pengakuan Achiruddin, total yang diterimanya tak sampai Rp 500 juta. Ini berarti polisi tak mendalami transaksi lain. Polisi juga belum masuk ke pidana lain, yakni penyelewengan solar subsidi untuk keperluan industri.

Perlakuan polisi terhadap Achiruddin tak jauh beda dengan proses hukum Ismail Bolong, polisi yang terlibat penambangan ilegal batu bara di Kalimantan Timur. Dia menjadi tersangka penambangan ilegal, tapi dugaan aliran duit hasil tambang itu kepada sejumlah polisi, termasuk petinggi Polri, serta pencucian uangnya tak diusut. Isunya meruap setelah Ismail ditahan. “Yang penting jadi tersangka dulu” tampaknya jadi kecenderungan untuk meredam sorotan publik pada skandal yang lebih besar.


Baca liputannya:


Penegakan hukum yang pilih-pilih demi melindungi kawan sendiri ataupun untuk menghindari pelototan masyarakat tak menghadirkan keadilan sejati. Polisi mungkin sukses memperbaiki citranya, tapi tak pernah berhasil membangun institusinya. Reformasi Polri yang dulu digembar-gemborkan gagal menuntaskan persoalan struktural dan kultural di kepolisian.

Setiap kali ada polisi yang terlibat perkara, kepolisian akan menyebutnya sebagai “oknum”. Padahal “oknum” muncul karena adanya kewenangan besar yang minim pengawasan, sikap permisif terhadap gratifikasi, pola hubungan atasan dan bawahan yang menciptakan budaya setoran, hingga dipeliharanya kultur kekerasan. “Oknum” juga digunakan untuk mengecilkan pelaku, seolah-olah hanya satu-dua. Namun, karena reformasi Polri tak pernah memberantas penyakitnya sampai ke akar, satu markas bisa dihuni “oknum” semua.

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Lembek Hukum terhadap 'Oknum'"

Berita Lainnya

Konten Eksklusif Lainnya

  • 21 April 2024

  • 14 April 2024

  • 7 April 2024

  • 31 Maret 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan