Mendongkrak Peran Ibu, Cerdaskan Generasi Bangsa
Perjuangan perempuan bukan hanya mendapatkan pendidikan yang sama dengan laki-laki, tetapi juga kesetaraan sebagai seorang ibu.
Siti Nadia Tarmizi, sosoknya mulai dikenal ketika menjadi salah satu juru bicara Covid-19. Perempuan kelahiran Palembang 31 Agustus 1972 itu kerap wara wiri di media massa untuk menjelaskan kepada masyarakat terkait perkembangan Covid-19 atau menjawab berita-berita yang kurang tepat atau hoaks terkait Covid-19.
Proses untuk memberikan informasi dan edukasi masyarakat seputar Covid-19 melalui media pun tidak mudah. Setiap hari Nadia harus stand by untuk teman-teman media dari pukul 04.30 – 22.00 WIB. “Teman-teman media biasanya sudah pantau sejak pagi. Oleh karena itu setiap hari harus menjawab whatsapp dan wawancara dengan teman media,” ujar Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan ini kepada Tempo.
Setidaknya, terdapat 50-80 pesan yang dia terima dan jawab melalui whatsapp ketika Covid-19 memuncak. Di sela-sela itu dia juga harus menerima permintaan wawancara dari media massa. “Saya harus memikirkan jawaban yang mudah agar tidak menimbulkan multitafsir. Berbagai isu juga harus dipikirkan, kemudian mengatur rapat dan agenda setting.”
Agar pesan yang dia sampaikan valid, lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tahun 1996 ini pun harus menyiapkan informasi atau literatur yang valid. Setiap hari, dia harus membaca data-data, weekly report dari WHO, dashboard cakupan vaksinasi, afirmasi positif, jurnal, dan segala literatur terkait vaksin. “Saya harus belajar apa keunggulan vaksin-vaksin baru untuk menjelaskan kepada masyarakat dan media.”
Bersyukur, kata Nadia, peran media selama covid-19 juga cukup besar. “Kalau kita memberikan data lebih lengkap, komprehensif, maka teman-teman media akan menulis dengan bahasa yang lebih mudah diterima masyarakat. Semua itu membantu kita untuk menjelaskan kepada masyarakat,” ujarnya.
Nadia mengakui, dalam memberikan informasi seputar Covid-19, dia tidak bergerak sendiri. Ada kolaborasi yang menjadikan semua itu bisa ditangani dengan baik. Strategi komunikasi dibangun bersama. Selain Kemenkes, terdapat peran Kantor Staf Presiden, BNPB, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Luar Negeri, dan lainnya. “Jadi ini semua memang pentahelix,” katanya.
Mereka juga memiliki WA Group dengan daerah. Peran LSM/komunitas menurutnya, juga cukup besar di sini. Begitu juga peran influencer. Akhirnya, lanjut dia, tidak mungkin Pandemi Covid- 19 dapat diatasi tanpa partisipasi masyarakat, terutama dalam hal pelaksanaan vaksinasi.
Ketika Pandemi Covid-19 sudah dapat ditangani, Nadia yang saat itu menjabat sebagai Sekretaris Ditjen Kesehatan Masyarakat pun dipercaya menjadi Juru Bicara Presidensi G20 Republik Indonesia bidang Kesehatan. “G20 tahun lalu juga luar biasa meskipun itu di masa transisi Pandemi,” ujar dia.
Mulai dari Nol
Untuk menjadi salah satu orang yang berpengaruh di Kementerian Kesehatan, Nadia mengalami proses ‘pematangan diri’ yang panjang. Tertarik dengan profesi dokter, Nadia ‘kecil’ menganggap dokter memiliki tangan yang ‘magic’ karena dapat menyembuhkan pasien.
“Profesi dokter itu merupakan profesi yang sangat mulia, menolong orang. Sewaktu kecil melihat dokter bisa menyembuhkan orang sakit. Kayaknya sewaktu SMP sudah mulai cita-cita ingin menjadi dokter,” kata perempuan yang suka menghabiskan waktu senggang dengan menonton film di aplikasi berbayar ini.
Setelah lulus di Fakultas Kedokteran UI, Nadia baru menyadari ternyata banyak pilihan pekerjaan dari seorang dokter. Tidak hanya praktek mengobati pasien. Dia mengikuti program Pegawai Tidak Tetap (PTT) untuk melakukan pengabdian di daerah-daerah. Nadia lalu ditugaskan di daerah pegunungan di Sumatera Selatan.
Bekerja di Puskesmas di daerah pegunungan, Nadia betul-betul berhadapan langsung dengan masyarakat. Dia mendapatkan pengalaman yang banyak dan berkesan.
Nadia belajar bagaimana menekan angka kematian ibu, menangani TBC, anak kurang gizi, diare, imunisasi, posyandu, yang merupakan program-program yang ditangani di Puskesmas. “Sebagai ucapan terima kasih masyarakat biasanya bukan dalam bentuk finansial melainkan hasil panen dan hasil ternak,” ujar dia.
Di Puskesmas dia mendapatkan tantangan langsung dari masyarakat. Bagaimana mengajak masyarakat untuk mau diimunisasi, mau ditimbang, mengajak ibu kader yang terkadang lebih tua dari usianya. “Waktu di sana lah saya merasakan bagaimana dekat kepada masyarakat, bagaimana apa yang kita lakukan itu ternyata memiliki dampak besar,” ujar lulusan Master Epidemiologi Universitas Indonesia ini.
Agar program-program Puskesmas dapat berjalan dengan baik, Nadia mendekati para kader Kesehatan yang didominasi perempuan. Dia mempelajari bagaimana para perempuan berpikir untuk keluarganya, dan ingin menghasilkan anak yang seperti apa. “Perempuan itu memiliki peran yang sangat besar. Perempuan adalah motor bagi keluarga.”
Ketika di desa, Nadia pun mencoba mengenalkan makanan bergizi kepada para perempuan. Makanan itu berasal dari hasil panen atau ternak yang mereka berikan kepada Nadia. “Saya ajak masak bersama, untuk membuat menu-menu bergizi dari bahan dasar yang mereka hasilkan.”
Menurutnya, dengan memasuki dunia “perempuan” atau “ibu” maka dapat membuat perubahan di dalam keluarga. “Kemudian barulah kita mengedukasi bapak-bapaknya tentunya melalui peranan ibu tadi.”
Seorang ibu, kata dia, memegang peranan penting. Dia lalu menghubungkan dengan bulan April berkaitan dengan lahirnya pahlawan nasional Kartini. Bagaimana perjuangan perempuan bukan hanya mendapatkan pendidikan yang sama dengan laki-laki, bisa duduk di dalam kancah perpolitikan, atau di dalam kementerian dan lembaga yang sama dengan laki-laki, tetapi perempuan memegang peranan penting juga sebagai seorang ibu di dalam rumah tangga.
“Jangan lupa, perempuan itu bukan decision maker di dalam rumah tangga. Tergantung suami. Suami ngasih uang masak 10 ribu, kita yang harus berpikir keras, bagaimana dengan uang 10 ribu dapat menjadi makanan yang bergizi. Dari uang 10 ribu itu lah menghasilkan anak-anak yang berkualitas menurut bangsa kita. Itu satu skill yang harus dimiliki semua ibu. Kadang-kadang tidak menjadi perhatian, tetapi justru dari tangan ibu terlahir anak-anak yang hebat, pintar, berkualitas dan menyumbang generasi emas.”
Dari penguatan perempuan inilah, Nadia meyakini penyakit-penyakit yang diperoleh sejak bayi sampai penyakit orang dewasa dapat dicegah. Stunting misalnya, sejak perempuan remaja, hamil, dan melahirkan terdapat upaya-upaya pencegahan yang dapat dilakukan. “Misalnya pemberian pil tambah darah bagi remaja putri,” kata dia.
Nadia menuturkan, setelah melakukan PTT, dia mendapatkan kesempatan menjadi salah satu dokter terbaik tingkat provinsi. Atas prestasinya itu dia mendapatkan tawaran mengikuti CPNS. “Kemudian Saya mendapatkan PNS dan ditugaskan di Dinas Kesehatan Sumatera Selatan. Di situlah mempelajari tata kelola, manajemen program, berbeda sekali pekerjaannya, di situ paper work. Ngurusin surat, yang tadinya nggak pernah ngerjain hal-hal seperti itu. Jadinya itu pengalaman luar biasa.”
Nadia yang mendapatkan suami seorang dokter lalu mengikuti suami ke Jakarta. “Dan akhirnya pilihan saya tidak untuk menjadi dokter spesialis, dokter yang berpraktek. Tetapi bergabung dengan Kemenkes dan sekarang banyak hal yang bisa kita lakukan dalam hal membuat kebijakan.”
Bergabung di Kemenkes sejak 2001, perempuan yang suka olahraga lari ini pernah menjabat sebagai Direktur P2PTVZ (P2 Penyakit Tular Vektor & Zoonosis), Direktur P2PML (P2 Penyakit menular langsung), Sekretaris Ditjen Kesehatan Masyarakat, dan terkini Kabiro Komunikasi & Pelayanan Publik. Nadia berharap, dirinya bisa terus mengembangkan diri dengan mengambil kuliah S3.
Untuk Indonesia, dia berharap masyarakat memiliki angka umur kesehatan hidup lebih baik. “Terpenting anak-anak yang menjadi penerus bangsa betul-betul mampu bersaing. Kita berharap punya SDM yang produktif, mampu menguasai level-level pekerjaan yang baik,” kata dia.