Laporan the new york times itu ...
Hughes aircraft ditunjuk sebagai kontraktor proyek sistem satelit palapa. cheatham dari gte menuduh hughes menyuap pejabat indonesia. tuduhan terhadap dirjen postel soehardjono, tak dapat dibuktikan.

SEPERTI peluncuran satelit yang lama tertunda, akhirnya berita
"permainan komisi" sekitar proyek Palapa tersembur juga.
Sejak beberapa waktu menjelang penutup tahun 1976, di Jakarta
sebenarnya sudah mulai sayup-sayup bisik bahwa koran terkemuka
The New York Times akan membongkar suatu perkara kotor di dalam
soal itu. Mungkin pertandanya sudah nampak: kira-kira Nopember
1976, ke Jakarta datang Seymour M. Hersh, wartawan pemenang
Hadiah Puliter yang kini bekerja untuk The New York Times.
Hersh, yang dikenal sebagai ahli "membongkar-bongkar", agaknya
tak menyembunyikan niatnya. Ia sudah mecium sesuatu di sekitar
proyek Palapa -- yang telah mengorbitkan Indonesia jadi salah
satu dari tiga negara duma yang menggunakan satelit komunikasi
komersiil (dua yang lain: Kanada dan AS). Dan Hersh merasa
mencium bau yang busuk.
Kisahnya bermula September 1976. Pada mulanya, kurang-lebih,
ialah pertemuan dengan Dr. Thomas P. Cheatham Jr. Dia ini bekas
pejabat tinggi Pentagon, Departemen Pertahanan AS. Jabatannya
wakil direktur Research & Engineering, antara 1964-1967. Ia
kemudian jadi seorang konsultan buat perusahaan General
Telephone & Electronics (GTE) sebuah perusahaan yang membawahkan
pelbagai usaha di bidang komunikasi manufaktur dan riset dan
beroperasi di 15 negara di luar AS.
CIA
GTE mulai mendekati pemerintah Indonesia waktu mendengar bahwa
pemerintah bermaksud memperbaharui sistem telepon untuk Jakarta
dan daerahdaerah. Sebagai bagian dari proyek ini diputuskan akan
dipergunakan sistem satelit komunikasi guna menyatukan wilayah
sepanjang 5000 Km lebih yang terdiri dari pulau-pulau. GTE
mula-mula mengajukan usul proyek seharga 330 juta dollar,
berikut kira-kira 250 jua dollar buat peralatan teleponnya.
Tapi usul ini tak diterima oleh pemerintah Indonesia, yang
diwakili oleh Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi.
Orang-orang GTE yang kecewa menuduh bahwa ada yang tak beres
dengan penolakan itu - karena ternyata perusahaan Hughes
Aircraft yang dapat rejeki dipilih sebagai pensuplai.
Orang-orang GTE itu, menurut Hersh, kemudian mengeluh ke
kedutaan besar AS di Jakarta, kepada para pejabat CIA, kepada
bank Export-Import (Eximbank) dan akhirnya kepada pers. Dr.
Cheatham misalnya mencoba mengetuk hati Eximbank yang merupakan
badan resmi dana AS untuk perdagangan internasional itu. Ia
menyatakan bahwa ada uang sogok yang dibayarkan, setelah
Indonesia memberikan kontrak pembangunan satelit dan 40 stasiun
buminya kepada perusahaan Hughes Aircraft serta ITT
(International Telephone and Telegraph).
Buat Cheatham, bukan masalah penyuapan atau komisi itu yang
membikin repot, tapi jumlahnya. Ia sendiri - dan GTE - biasa
kasih komisi untuk para pqabat asing yang membeli barangnya.
"Kami biasa membayar 2 atau 3 persen. Lalu S atau 15 persen",
kata Cheatham. "Dan sekarang ini", lanjutnya menunjuk kasus
permintaan komisi dari pejabat Pos-Tel Indonesia yang kini heboh
itu, "inilah yang terburuk yang pernah saya dengar, dan orang
Amerika saling tabrakan menawar untuk menentukan siapakah yang
dapat menyogok paling banyak".
Menurut keterangan yang diperoleh Hersh, dalam suatu pertemuan
antara GTE dengan fihak pemerintah Indonesia - yang diwakili
Dirjen Pos-Tel Soehardjono -- permintaan komisi itu dilakukan
secara terus-terang. Soehardjono, kata seorang Amerika peserta
pertemuan itu, langsung minta komisi dan mengatakan jumlah itu
bisa ditambahkan ke harga proyek. "Saya bilang: tidak bisa",
kata si orang Amerika. "Dan ia ketawl dan saya ketawa, dan
sampai di situ saja". Menurut yang ditulis Hersh, komisi yang
diminta Soeharujono adalah $ 40 juta.
Bagi si pejabat GTE, itu terlampau besar. Sebab seandainya
Soehardjono menurunkan permintaannya sampai 3 atau 4 juta
dollar, para wakil perusahaan AS itu akan setuju saja. Seperti
dulu pernah terjadi di Filipina: GTE pernah membayar sogok 4
pejabat penanaman modal sampai lebih dari 4 juta dollar.
"Dipaksa"
Yang nampaknya diinginkan oleh Dr. Cheatham untuk dituntut ialah
Hughes Aircraf. Ia menyatakan, bahwa telah dua kali ia mendengar
dari orang-orang berkedudukan penting bahwa Hughes "dipaksa
menyalurkan uang untuk Jend. Soehardjono sebagai imbalan karena
telah ditunjuk sebagai kontraktor utama proyek sistem satelit".
Salah satu dari informannya mengatakan bahwa setidaknya 20%
telah disuapkan oleh Hughes "dan kontraktor-kontraktor lain". Di
sini tidak jelas apakah itu berarti tiap kontraktor - termasuk
Hugnes -- membayar 20% komisi, ataukah komisi itu 20% dari
seluruh uang yang diterima macam-macam kontraktor. Tapi di awal
tulisannya Hersh, menyebut bahwa Hughes dituduh" membayar suap
20%, atau lebih kepada para pejabat Indonesia".
Berapa besar komisi itu dalam jumlah dollar. tidak disebut. Yang
pasti bila hanya dihitung dari nilai kontrak yang diperoleh
Hughes Aircraft. jumlahnya tak akan sampai S 40 juta (lilat
box Seberapa Banyak Hugnes Dapat?). Tulisdn Hersh memang bisa
menyesatkan. Terutama bila para pembaca jadi terpukau oleh itu
angka 540 juta - dan lupa bahwa soal pokok adalah kemungkinan
adanya komisi yang setinggi 20%.
Di Indonesia sendiri reaksi nampaknya memang terpusat pada
jumlah uang yang besar itu. Menteri Luar Negeri Adam Malik
misalnya dikutip pers sebagai mengatakau bahwa jumlah uang
sogokan itu "hebat". Kepada TEMPO Menteri Perhubungan Emil
Salim menyatakan bahwa besarnya suapan yang disebut S 40 juta
itu "tak masuk akal". Dan Dirjen Pos-Tel Soehardjono sendiri
heran: "Empatpuluh juta dollar itu berapa banyak - coba hitung".
Cerita The New York Times kemudian menyebut pembayaran suap
kedua yang katanya diminta oleh seorang pejabat yang mewakili
Pertamina ". Adapun "pejabat" itu rupanya Udaya Hadibroto,
menantu Direktur Utama Pertamina waktu itu, Let.Jen. Ibnu
Sutowo. Udaya dikenal sebagai Direktur Elnusa, salah satu anak
perusahaan Pertamina. Menurut sumber-sumber The New York
Times seorang agen penjualan dan GTE, bernama Vladimir Gold,
pernah melapor kepada atasannya bahwa Udaya ada meminta agar
GTE menunjuknya sebagai agen dalam hubungan dengan penjualan
yang masih tertunggu, yang meliputi ratusan juta dollar untuk
alat-alat telepon dan stasiun bumi. "Apa yang tuan harapkan?"
konon Udaya ditanya. Udaya menyebut angka kondisi 30% - angka
yang waktu itu biasa berlaku di kalangan pejabat Pertamina
kalau mereka membeli barang untuk perusahaan. Usul Udaya
ditolak.
Udaya sendiri kepada Hersh mengakui bahwa ia pernah berusaha
ditunjuk jadi agen penjualan sistim satelit. Tapi ia membantah
bahwa ia pernah minta 30% sebagai komisi untuk Pertamina. "Saya
kira uang itu untuk dana pemilu - itu menurut perkiraan saya",
kata Udaya sebagai dikutip Hersh. Jadi tidak jelas adakah Udaya
dengan demikian hanya membantah bahwa bukan Pertamina-lah yang
akan menerima komisi itu tanpa ia membantah bahwa ia memang
pernah minta komisi 30%. Yang pasti, komisi itu tak pernah
diterimanya.
Dan The New York Times sendiri memang tak bisa membuktikan bahwa
"penyuapan" yang dikatakan Dr. Cheatham itu, benar-benar pernah
terjadi. Bahkan wartawan Hersh mengutip pelbagai bantahan
terhadap tuduhan Cheatham itu. Misalnya dari orang GTE sendiri,
William L. Mayo wakil presiden untuk urusan Asia & Pasifik.
Setahunya, kata Mayo, GTE tak pernah dimintai suap oleh siapapun
dalam pertemuan-pertemuannya dengan Soehardjono.
Bantahan lain datang dari William A. Glick, seorang pejabat
penting Eximbank. Ia memang mendengar tuduhan Cheatham tentang
permainan suap itu. Juga ia mengakui bahwa ongkos satelit telah
naik hampir 70%, dan banknya terpaksa meningkatkan pinjamannya
jadi 54 juta dollar - suatu kenaikan yang belum pernah ada
duanya dalam sejarah Eximbank. Tapi ia merasa bahwa sebuah bank
tidak tahu bagaimana harus menyelidiki ada atau tidaknya uang
suap. Tuduhan Cheatham, menurut Glick, merupakan "hal-hal yang
semuanya kabur".
Sebuah sumber lain sementara itu menyatakan bahwa beberapa
pejabat Eximbank pernah memanggil orang-orang Hughes Aircraft
dan ITT untuk suatu peninjauan kembali. Kepada mereka soal
tuduhan adanya uang suap bagi pejabat Indonesia juga ditanyakan.
Tapi orang-orang Hughes punya jawaban untuk semua pertanyaan.
Mereka menekankan bahwa mereka "bersih". Para pejabat Eximbank
itu tak begitu saja mau percaya. Tapi satu-satunya jalan yang
bisa ditempuh ialah mengharuskan pemerintah Indonesia untuk
menyewa konsultan yang independen buat mengawasi proyek satelit
itu. Dan perusahaan konsultan yang dipilih pihak Indonesia -
dengan persetujuan Eximbank - ialah Teleconsult di Washington.
Koran Got
Mungkin sebab itulah waktu menjawab pertanyaan The New York
Times, sehubungan dengan perkara "sogokan" itu, Menteri Emil
Salim mengatakan, bahwa pihak Indonesia telah mengikuti aturan
yang ditetapkan oleh Eximbank. Jadi, kalau ada penyelewengan,
tanggungjawab juga terletak pada bank itu. Dan secara tak
langsung, juga pada pemerintah AS.
Tapi justru adanya kaitan dengan Eximbank itulah urusan bisa
jadi panjang. Dan merepotkan. The New York Times bagaimanapun.
bukan koran got. Maka selang beberapa saat setelah terbitnya
laporan Seymour Hersh itu, Senator William Proxmire (Partai
Demokrat), sebagai Ketua Komisi Perbankan Dewan Senat, menulis
surat kepada Stephen M. De Bruhl, presiden Eximbank. Senator
Proxmire menganggap tuduhan itu cukup serius. Menurut harian
Sinar Harapan Kamis pekan lalu, surat sedemikian biasanya
"merupakan tindak awal dari suatu prakarsa sebuah Komisi Dewan
Senat untuk melakukan pemeriksaan, dengan mempergunakan hak
dengar-pendapat".
Suasana di Kongres memang bisa menjurus ke tindakan seperti itu.
Skandal penyuapan yang dilakukan oleh perusahaan kapal terbang
Lockheed masih amat tebal dalam ingatan - dan nama beberapa
pejabat Indonesia bukannya tak ikut disebut-sebut. Kini, di awal
kepresidenan Jimmy Carter yang banyak berbicara soal moral,
semangat bisa tambah hebat untuk membersihkan dunia usaha AS
dari tingkah-tingkah yang kotor.
Dan memang: baru saja The New York Times memuat tuduhan seorang
bekas pejabat GTE tentang permainan saingannya, Hughes Aircraft,
Kamis pekan lalu perusahaan GTE sendiri kena lumpur. Sebagaimana
diberitakan kantor berita AFP, perusahaan telepon ini disebut
sebagai telah menyogok $ 14 juta untuk memperoleh kontrak di
Iran, Pilipina dan beberapa negara lain. Yang menyebut itu tak
lain adalah badan resmi yang mengawasi kegiatan bisnis para
pengusaha Amerika, yakni Securities and Exchange Commission
(SEC).
Tulisan Seymour Hersh di The New York Times itu pun nampaknya
bertujuan untuk menggalakkan gerakan antisuap ini supaya lebih
santer. Bahkan tulisan itu memberi kesan, bahwa ia diarahkan
agar ada sanksi hukum kepada perusahaan-perusahaan AS yang suka
mempraktekkan pat-gulipat.
Dan perusahaan Hughes Aircraft merupakan sasaran yang digemari.
Perusahaan ini didirikan oleh almarhum orang kaya majenun Howard
Hughes - yang mati setelah menyisihkan diri dari orang ramai
selama bertahun-tahun Hughes Aircraft yang besar ini
(penghasilan 1975: $ 1,2 milyar, dan karyawannya 36.000) punya
kontrak utama di bidang pertahanan dengan pemerintah. Salah satu
kontrak rahasianya yang baru-baru ini terbongkar ialah dengan
CIA. Kerahasiaannya itu yang menarik kecurigaan orang. Dan
orang Amerika memang gampang saja merasa aneh, bahwa Hughes
berhasil menjual sebuah alat telekomunikasi yang kini cuma
dipunyai negeri kaya kepada sebuah negeri "miskin" yang bernama
Indonesia.
Selama ini, perbuatan menyuap di luar negeri tak dianggap
melanggar undang-undang AS. Senat memang telah menyetujui
adanya perundang-undangan dengan sanksi kriminil terhadap itu.
Tapi langkah ini yang tak disertai bab-bab yang mengatur
pelaksanaan hukumnya, belum dikukuhkan oleh badan
perwakilan kedua. The House of Representatives. Lembaga
seperti SEC baru melakukan penyelidikan saja. SEC juga
memperkenalkan suatu progran di mana suatu perusahaan bisa
secara sukarela mengungkapkan praktek-prakteknya dalam perkara
penyuapan di luar negeri. Tapi hasil pengalaman sukarela itu tak
boleh sepenuhnya dingkapkan kepada publik. Sementara itu, sub
komite senat yang menyelidiki perusahaan multinasional (yang
pernah mengadakan dengar-pendapat dalam skandal Lockheed) juga
telah menyarankan suatu undang-undang yang mendorong agar
praktek penyogokan itu diumumkan sepenuhnya kepada publik. Tapi
usul itu belum disetujui seluruh kongres.
Bisa dibayangkan bagaimana kalau nanti usul itu berhasil gol.
Pertama kita akan bisa membaca daftar nama para penerima sogok
ukuran mukibat di seluruh dunia. Kedua, kita bisa asyik bisa
pula ngeri.