Seminar Bagi Roti
Seminar iklan pers diadakan di Hotel Sari Pacific, berjudul penyehatan dan pembinaan periklanan pers. Gagasan perataan iklan tak akan dipaksakan. Dibentuk badan kerjasama antara unsur-unsur periklanan.

SEMINAR iklan pers yang berlangsung dari 19 - 22 Januari di
hotel Sari Pacific Jakarta itu ditutup dengan suatu jamuan
makan malam yang berlangsung secara kaku. Upaya membagi roti
iklan pers --sebagaimana dikehendaki Departemen Penerangan yang
memnakarsai seminar itu -- memang telah menarik simpati
beberapa kalangan pengusaha pers. Meskipun mereka sadari
hasilnya belum ada. Seorang pengusaha biro iklan yang menjadi
pengurus P3I punya usul bagaimana sebaiknya meratakan pembagian
roti itu. "Volume iklannya yang harus diperbesar, agar lebih
banyak roti yang bisa dibagi", katanya. "Tapi dengan roti yang
makin mengecil seperti sekarang, apa lagi yang mau dibagikan?".
PK Oyong, Pemimpin Umum harian Kompas juga tak setuju kalau
pengertian perataan iklan itu harus berarti membagi iklan pada
pers lemah, kecil dan daerah. Tetap berpegang pada prinsip
ekonomi dan akal sehat, Oyong berpendapat cara perataan begitu
tak menyentuh inti persoalan untuk membantu yang 'lemah'.
"Bantuan yang perlu diberikan bukannya membuat pers itu jadi
kehilangan kreativitas", katanya. "Tapi harus sedemikian rupa
sehingga mendorong pers itu menjadi sehat". Pemimpin grup Kompas
itu bersedia memberikan bantuan pada pers lemah lewat pendidikan
baik di bidang redaksionil maupun di pengusahaan pers untuk
meningkatkan ketrampilan seseorang.
Sementara itu A. Aziz, Pemimpin Umum harian Surabaya Post
tegas-tegas mengatakan "tak setuju dengan cara-cara yang
memaksa, meskipun hal itu untuk kebaikan pers". R.M. Ajiwibowo,
Direktur Unilever sambil berseloroh mengatakan: "Kita sudah lama
meninggalkan tahun-tahun terpimpin". Dan dalam satu nafas ia
menyambung, "apakah benar-benar kita inginkan zaman itu kembali
lagi". Dari pernyataan-pernyataan seperti itu jelas kelihatan
bahwa para peserta seminar umumnya dihantui oleh fikiran-fikiran
demikian ketika melangkahkan kaki memasuki ruang sidang. Selain
para tokoh pers, Deppen dan SPS, seminar ini juga
mengikutsertakan fihak Departemen Perdagangan dan biro iklan,
yang tergabung dalam P3I ataupun yang belum".
Tawaran Sukarno
Meskipun agak terlambat, penjelasan Dirjen Pembinaan Pers dan
Grafika Sukarno SH, mendahului ceramahnya, cukup melegakan. "Tak
ada fikiran untuk memaksakan gagasan perataan iklan dari
Deppen", katanya. Apa yang ingin dilontarkannya adalah masalah
yang umum diketahui: merosotnya pendapatan iklan pada sebagian
besar pers, terutama yang terbit di daerah.
Tiga alternatif ditawarkan Sukarno pada seminar. Pertama,
mengadakan pembatasan volume iklan yang maksimum boleh ditampung
oleh sesuatu pers sebagaimana yang dimaksudkan oleh UU Pokok
Pers tentang hal itu. Kedua, mengintrodusir Sistim Periklanan
Kolektif yang meskipun prinsipnya telah ditolak oleh SPS dan
P3I - toh diyakininya masih memiliki kemungkinan untuk
diterapkan. Ketiga, membiarkan keadaan seperti sekarang, yang
besar kemungkinannya akan "menggulung tikar" pers yang lemah
oleh orang Deppen hal itu dianggap sebagai "suatu alternatif
yang tidak sesuai dengan pengembangan tata kehidupan Pancasila".
Sayangnya, Sukarno dalam forum itu tak memberi contoh pers mana
saja yang kira-kira akan gulung tikar dengan keadaan seperti
sekarang. Kalau yang dimaksud pejabat Deppen itu adalah
penerbitan yang pengelolaannya memang tak sehat, hampir
kebanyakan peserta seminar herpendapat: Cara apapun yang akan
ditempuh, rasanya sulit untuk dapat membantu menyehatkan
periklanannya. Baik Rorimpandey, Pemimpin Umum Sinar Harapan
maupun PK Oyong sama beranggapan adalah mutu pers yang
terlebih dulu harus diperbaiki. Anjuran begitu termasuk
pemilihan berita sedemikian rupa hingga menarik selera para
pengusaha untuk memasang iklannya.
Mengapa harian Kompas kini punya peredaran lebih dari 200.000
eksemplar, menurut Oyong bukan usaha setahun dua. Tapi melalui
studi penjajagan kemungkinan dan lain-lahn kegiatan, kami
berhasil meyakinkan para pengusaha: adalah untuk kepentingan
mereka sendiri bila mereka memasang iklan dalam koran kami".
Juga Usamah, bekas wartawan yang khni Sekjen P3I, dalam
prasarannya mengatakan: "Menyehatkan periklanan pers tak mungkin
tanpa menyehatkan pers itu sendiri".
Hansip
Bagaimanapun, seminar berjudul "Penyehatan dan Pembinaan
Periklanan Pers", dapat dikatakan berhasil, karena telah mampu
melibatkan banyak ahli yang dengan bersemangat menyumbangkan
fikiran, mencarikan jalan keluar untuk mengatasi masalah
perataan itu.
Sekalipun bola yang telah digelindingkan masih diinginkan untuk
dilanjutkan, Keputusan Sidang. Komisi yang menyimpulkan hasil
seminar mencerminkan keinginan tersebut. Ketika Ketua Panitia,
Daryono membacakan kesimpulan seminar, antara lain disebutkan
perlunya dibentuk Badan Kerjasama antar unsur-unsur periklanan.
Maksudnya untuk melanjutkan tukar fikiran yang telah dirintis
oleh seminar tersebut.
Tapi yang juga menarik -- khususnya bagi para biro iklan -
adalah suara Departemen Perdagangan yang dibawakan oleh drs
Indrayatno, yang kemudian diulas secara panjang lebar oleh
atasannya, drs. M. Panggabean. Ada beberapa hal yang dikemukakan
Panggabean dalam usaha Deperdag memberikan kepastian usaha pada
biro iklan nasional. Juga oleh pejabat Deperdag itu dilontarkan
ketetapan bahwa usaha jasa periklanan pengelolaannya berada di
bawah Deperdag, sedang Deppen berwenang untuk mengawasi materi
iklan.
Seorang pejabat Deppen ketika ditanya TEMPO kontan merasa
keberatan akan adanya pembagian tugas seperti itu. "Kalau begitu
Deppen tak ubahnya bagaikan Hansip", katanya. "Tugas kami
sebagai pengawas hanya melaporkan kepada Deperdag untuk dia
tindak". Bisa dibayangkan munculnya beda pendapat di permukaan
itu tak akan selesai sampai di situ. Tapi bagi P3I, keterangan
Panggabean itu kelihatannya diterima dengan gembira. "Yang kami
perlukan adalah ketegasan kepada siapa kami harus berhubungan:
Deppen atau Deperdag", kata beberapa pengurus P3I. "Dan yang
lebih penting lagi apakah tuntutan kami diperhatikan", tambah
Usamah.