Pulau Siberut merupakan surga bagi para surfer. Ombak ganas Selat Mentawai, di sebelah timur pulau itu, termasuk satu di antara ombak terbaik dunia. Namun semua itu tak mengubah banyak kehidupan masyarakat Siberut, dari masa ketika para antropolog asing datang pada 1950-an. Aktivitas memanah, menyagu, punen, berobat pada sikerei (dukun dan ahli tumbuhan obat), masih berlangsung sehari-hari. Yang berbeda hanya beberapa hal: anak-anak, ibu-ibu, dan laki-laki tak lagi bertelanjang dada. Tradisi tato untuk menghiasi tubuh yang terkenal itu kini sudah tak populer. Ikuti perjalanan wartawan Tempo Febrianti ke pulau di barat Sumatera itu.
MALAM telah mencapai puncaknya. Kapal motor Sumber Rejeki Baru yang mengarungi Selat Mentawai mulai berayun kencang. Derit kapal kayu yang membawa saya dan lebih seratus penumpang dari Padang menuju Pulau Siberut ini mulai sering terdengar, pertanda badai datang.
Suasana terasa makin menyeramkan karena teringat ramalan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika bahwa minggu pertama Februari itu merupakan puncak cuaca ekstrem di Samudra Hindia
...
Berlangganan untuk lanjutkan membaca.
Kami mengemas berita, dengan cerita.
Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.