maaf email atau password anda salah

Satu Akun, Untuk Semua Akses

Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini

Satu Akun, Untuk Semua Akses


Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Satu Akun, Untuk Semua Akses

Masukan alamat email Anda, untuk mereset password

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link reset password melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Ubah No. Telepon

Ubah Kata Sandi

Topik Favorit

Hapus Berita

Apakah Anda yakin akan menghapus berita?

Ubah Data Diri

Jenis Kelamin

KSI

Antara Evidence-based dan Politik: Dilema Kebijakan Era Krisis

Pemerintah perlu memperkuat fondasi pendekatan evidence-based policy dalam setiap proses perumusan kebijakan.

arsip tempo : 171416434312.

Wawan Mas’udi, Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan, FISIPOL UGM. . tempo : 171416434312.

Oleh: Wawan Mas’udi

(Dosen di Departemen Politik dan Pemerintahan, FISIPOL UGM)

Situasi krisis akibat pandemi COVID-19 membawa kembali ke permukaan perdebatan antara rezim kebijakan yang berbasis ideologi dan pertimbangan politik, dengan rezim kebijakan berbasis pengetahuan (evidence-based policy). Sejumlah negara membuat kebijakan merespons pandemi berbasis kepentingan dan insting politik para pemegang otoritas kebijakan, sebagaimana tercermin dalam cara Presiden Donald Trump (AS) menangani COVID-19. Pertimbangan-pertimbangan dari para ahli dan epidemiolog, serta data-data kesehatan dengan ringan diabaikan, dan berujung pada meluasnya pandemi.

Kasus berbeda terjadi di Inggris, di mana Perdana Menteri Boris Johnson sepenuhnya mendengarkan dan mempertimbangkan pendapat para ahli dan epidemiolog dalam membuat kebijakan untuk merespons COVID-19. ‘The government is following the science’, menjadi salah satu kutipan paling popular dalam briefing harian perkembangan pandemi. Model respons ala Inggris ini diikuti sejumlah negara, dan pada gelombang pertama pandemi dinilai cukup ampuh mengendalikan wabah.

Penanganan COVID-19 di Indonesia juga diwarnai dengan perdebatan antara tata pemerintahan berbasis pengetahuan dengan kepentingan yang lebih praktis, terutama ekonomi. Setelah pada minggu-minggu awal Pemerintah cenderung mengabaikan ancaman virus sebagaimana sudah diindikasikan para ilmuwan dan epidemiolog, berbagai kebijakan yang muncul kemudian pun juga diwarnai dengan tarik ulur antara kepentingan penyelamatan ekonomi dengan kesehatan. Ketidakjelasan arah kebijakan pemerintahan disinyalir sebagai penyebab semakin tidak efektifnya penanganan COVID-19.

Tarik ulur antara tata pemerintahan berbasis pengetahuan dan data sebagai fondasi kebijakan dengan tata pemerintahan berbasis ideologi atau kepentingan merupakan isu fundamental dalam teori kebijakan. Evidence-based policy merupakan perspektif dalam kebijakan publik, di mana pengambilan kebijakan harus didasarkan pada data-data ilmiah dan justifikasi obyektif. Sebagai lawannya adalah kebijakan yang dikembangkan berdasarkan pertimbangan ideologi (kepentingan politis)  atau bahkan 'common sense'. Kebijakan berdasar data sering kali tidak popular, karena bisa melawan logika dan kepentingan umum, akan tetapi bisa menyelamatkan kepentingan publik dalam jangka panjang. Sementara kebijakan politis cenderung populer dan bisa memenuhi ekspektasi jangka pendek, meskipun bisa melahirkan risiko yang dalam jangka tertentu akan mempertaruhkan kepentingan publik itu sendiri.

Bagi banyak negara, penanganan COVID-19 menghadirkan dilema yang tidak mudah antara pilihan menjaga ekonomi atau kesehatan. Meskipun tidak bersifat berlawanan, pilihan kebijakan hampir pasti mengorbankan salah satu di antaranya. Negara-negara yang memiliki kapasitas kuat, cenderung akan mengambil kebijakan kesehatan secara radikal, misalnya dalam bentuk lockdown atau pembatasan lain yang bersifat sangat ketat, dengan konsekuensi subsidi ekonomi yang masif. Kebijakan ini diikuti dengan upaya tracing, testing, dan treatment yang kuat, yang membutuhkan alokasi sumber daya sangat besar. Sementara sejumlah negara dengan kapasitas sumber daya terbatas, cenderung tidak akan mengambil kebijakan yang sepenuhnya mengikuti ukuran-ukuran kesehatan, mengingat sumber daya yang terbatas atau kebutuhan untuk mempertahankan ekonomi dari keruntuhan.

Kebijakan penanganan pandemi di Indonesia secara umum juga dihadapkan pada dilema antara kesehatan dan ekonomi. Di masa awal COVID-19 dan ketika infeksi belum ditemukan di Indonesia, pejabat-pejabat kunci pemerintahan cenderung menganggap remeh, meskipun alarm bahaya akan virus ini sudah disampaikan para ahli, termasuk oleh lembaga internasional seperti WHO. Pengabaian atas informasi berbasis pengetahuan tentang COVID-19 pada masa itu berakibat fatal. Manajemen krisis dan sistem antisipasi tidak cukup siap ketika penularan mulai meluas, dan dalam beberapa fase pandemi berakhir dengan kegagalan sistem layanan kesehatan. Situasi nampaknya berulang dalam fase selanjutnya yang dikenal dengan gelombang varian delta, di mana ada situasi kegagalan untuk mengantisipasi dan menangani dampak penularannya yang masif. Label Indonesia sebagai new epicentrum COVID-19 yang sempat muncul, menunjukkan tidak berhasilnya kebijakan krisis yang dikembangkan. 

Langkah Radikal Berbasis Pengetahuan

Perkembangan dalam penanganan pandemi di Indonesia menandakan bahwa Pemerintah harus berbenah dan mengambil tindakan radikal dalam proses perumusan kebijakan publik, karena kepercayaan masyarakat menjadi taruhannya. Semakin banyak kebijakan yang mengabaikan ilmu pengetahuan sebagai basis, maka semakin menurun kepercayaan publik terhadap Pemerintah. Tentu hal ini akan memperpanjang proses penanganan pandemi, karena publik akan lebih abai dengan instruksi dari pembuat kebijakan.

Untuk itu, Pemerintah perlu memperkuat fondasi pendekatan evidence-based policy dalam setiap proses perumusan kebijakan. Kompilasi pengetahuan dan data yang semakin solid, baik mengenai karakter pandemi maupun dampaknya terhadap sosial dan ekonomi semestinya bisa menjadi fondasi pengembangan evidence-based policy yang lebih kuat. Namun demikian, selalu ada kecenderungan data dan pengetahuan tidak sepenuhnya menjadi referensi kebijakan. Sehingga, unsur non-pemerintah, seperti swasta dan organisasi kemasyarakatan (LSM/NGO) perlu terlibat dalam proses tersebut, agar pengambil kebijakan dapat mempertimbangkan berbagai aspek data, yang sering kali tidak sepenuhnya saling menopang satu sama lain. Dalam konteks pandemi, keterlibatan multi aktor juga dapat mempercepat penanganan. Sebagai contoh, keterlibatan swasta dalam memproduksi vaksin dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, sebuah hal yang tidak dapat dilakukan Pemerintah sendiri. Sama halnya, LSM/NGO yang berfungsi sebagai jembatan antara Pemerintah dan masyarakat tentu dapat menghadirkan komunikasi yang paralel terkait kebutuhan masing-masing pihak.

Dalam rangka semangat kemerdekaan, Pemerintah perlu memanfaatkan momen ini untuk menciptakan sistem kebijakan yang tangguh, berbasis pengetahuan, sesuai dengan tema HUT RI ke 76, yaitu “Indonesia Tangguh, Indonesia Tumbuh”. Dibutuhkan ekosistem pengetahuan dan inovasi untuk mendorong penciptaan kebijakan berbasis bukti dan kolaborasi multi aktor yang kondusif. Ekosistem tersebut akan menopang adanya sistem yang tangguh, sehingga bangsa ini dapat terus bertumbuh dan mampu menghadapi berbagai tantangan besar lainnya di masa depan. 

Berita Lainnya

Konten Eksklusif Lainnya

  • 21 April 2024

  • 14 April 2024

  • 7 April 2024

  • 31 Maret 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan