Tarik-ulur RUU Penyadapan di DPR
Pembahasan RUU Penyadapan masih tertahan di Komisi Hukum DPR. Alat sadap hanya boleh digunakan untuk penegakan hukum.
RAPAT Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat pada Selasa, 30 Mei lalu, tak kunjung menuntaskan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyadapan. Draf yang disusun Badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR itu masih harus digodok. “Perlu satu kali rapat lagi,” kata Wakil Ketua Komisi Hukum dari Fraksi Partai Amanat Nasional Pangeran Khairul Saleh pada Jumat, 9 Juni lalu.
Draf setebal 25 halaman itu mesti melewati persetujuan Komisi Hukum agar bisa dikirim ke Badan Legislasi untuk proses harmonisasi. Naskah tersebut akan mengatur mekanisme dan kewenangan penyadapan sejumlah lembaga negara, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Kepolisian RI, Kejaksaan Agung, Badan Narkotika Nasional, dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. Kewenangan penyadapan Badan Intelijen Negara tak tercantum dalam RUU ini.
Pembahasan RUU Penyadapan masih alot. Kepala Badan Keahlian DPR Inosentius Samsul mengklaim rapat pada akhir Mei lalu itu dipenuhi berbagai usul untuk memastikan RUU Penyadapan sejalan dengan perspektif hak asasi manusia. “Agar penyadapan tak disalahgunakan,” ujarnya.
Penyusunan RUU Penyadapan berawal dari adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-VIII/2010 pada 24 Februari 2011. Mahkamah Konstitusi mencoret Pasal 31 ayat 4 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang semula membolehkan penyadapan diatur lewat peraturan pemerintah. Mahkamah Konstitusi menyatakan penyadapan semestinya diatur di tingkat undang-undang untuk menghindari penyalahgunaan wewenang.
Beberapa tahun kemudian, RUU Penyadapan baru masuk Program Legislasi Nasional 2015-2019. Tapi proses pembahasan awal di DPR mentok di rapat panitia kerja Badan Legislasi pada 3 Juli 2019. Sebelumnya, mereka sudah meminta masukan sejumlah lembaga penegak hukum, seperti KPK, Polri, dan Kejaksaan Agung.
Pada hari yang sama, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia juga mengumpulkan instansi yang punya kewenangan untuk menyadap di Oria Hotel, Jakarta Pusat. Komnas HAM mendorong pengesahan RUU ini. Selain akan mengatur penyadapan penegak hukum, pihak lain dicegah agar tak menggunakan alat penyadapan untuk memata-matai masyarakat. “Kalau tidak diatur, kita kayak berada di dunia gelap dan bisa perang sama orang yang enggak suka demokrasi,” tutur mantan komisioner Komnas HAM, Khoirul Anam.
Komnas HAM melibatkan sejumlah perwakilan kelompok masyarakat sipil. Salah satunya hakim yustisial Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat Mahkamah Agung, Riki Perdana Raya Waruwu. Ia menyampaikan RUU Penyadapan memang masih memiliki banyak kelemahan, dari urusan kode etik sampai ancaman gugatan terhadap majelis hakim. “Selama ini hanya beberapa hakim yang menerima berkas perkara yang dilengkapi dengan hasil penyadapan, karena sebagian besar masuk ke ranah privasi,” ucapnya.
Kepala Badan Keahlian DPR Inosentius Samsul di Jakarta, Juli 2021/dpr.go.id
Setelah sempat mandek, pembahasan RUU Penyadapan kembali berjalan pada 2022. Komisi Hukum mengumpulkan sejumlah perwakilan lembaga penegak hukum di Hotel Ritz-Carlton, Jakarta, pada 15 Desember 2022.
RUU Penyadapan lantas mengalami beberapa kali perombakan. Draf terakhir yang dihasilkan adalah naskah tertanggal 30 Mei 2023. Beleid tersebut mencantumkan sepuluh aturan yang melingkupi tata cara permintaan sadap, peralatan dan perangkat, pemusnahan hasil sadap, hingga ketentuan pidana jika ada penyalahgunaan hasil sadap.
Contoh aturan yang masih diperdebatkan adalah pasal 7 ayat 2 yang mengatur penyadapan hanya bisa dilakukan untuk kasus pidana tertentu dengan ancaman lima tahun penjara atau lebih. “Pasal itu belum kami sepakati,” kata anggota Komisi Hukum, Arsul Sani.
Aturan krusial lain adalah pasal 4 ayat 1. Pasal ini menegaskan penyadapan oleh penegak hukum hanya bisa dilakukan pada tahap penyidikan. Kemudian ada pula pasal 29 ayat 3 yang mengatur masa penyimpanan hasil penyadapan oleh penyidik paling lama dua tahun. Jika sudah lewat, hasil penyadapan harus dimusnahkan.
Berlarut-larutnya pembahasan RUU Penyadapan ikut membuat Hamdan Zoelva khawatir. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini tak lain adalah orang yang ikut menyusun putusan Mahkamah Konstitusi soal penyadapan pada 2011.
Pria yang berprofesi sebagai advokat ini mengatakan RUU Penyadapan penting. Apalagi, kata dia, saat ini makin banyak pihak yang mampu menyadap, termasuk pihak yang bukan aparat penegak hukum. Mereka tak pernah dijatuhi sanksi. “Penggunaannya seperti berada di hutan rimba yang enggak ada aturan,” ujarnya.