Ia yang Tak Mengkhianati Puisi

PENYAIR tersohor Sapardi Djoko Damono mengembuskan napas terakhir pada Ahad, 19 Juli lalu. Sajak-sajak Sapardi menempati pencapaian estetis tersendiri dalam jagat puisi Indonesia. Seorang pengamat mengatakan sajak-sajak imajis Sapardi berdiri kokoh di tengah, tidak tergoda terlalu ekstrem ke kiri sebagai sajak protes serta bisa menahan diri tak melangkah terlalu eksperimental ke kanan.

Seluruh hidup Sapardi didedikasikan kepada sastra. Ia pernah menjadi redaktur sastra majalah Horison, dan sampai akhir hayatnya menjadi akademikus sastra di kampus. Sapardi juga seorang penerjemah, dari novel sampai naskah drama, yang tangguh. Lingkup aktivitas sastranya demikian luas dan intens. Yang juga membedakan Sapardi dengan penyair lain adalah sajak-sajaknya diterima luas oleh publik. Musikalisasi sajak-sajak cintanya, misalnya, demikian populer, juga menyentuh secara bersahaja semua kalangan.

Menjelang kematiannya pada umur 80 tahun, Sapardi masih terus berusaha memproduksi buku-buku sastra. Ia yakin penerbitan sastra diterima masyarakat kita.

Tempo

Sabtu, 25 Juli 2020

PUISI Sapardi Djoko Damono adalah hamparan telaga tak bertepi dengan genangan air yang jika kita ciduk akan memadat di tangan kita—siapa saja kita—lalu menjelma menjadi apa saja. Itulah puisinya, tapi itu bukan seluruh puisinya. Cara untuk lebih memahaminya adalah melayarinya, menerjuninya.

Puisi-puisi Sapardi adalah teks yang mewakili gambaran hidup seseorang yang tampak tenang tapi ia sesungguhnya telah mengalami, melewati, da

...

Berita Lainnya