Lingkaran Setan Mafia Peradilan

Mafia peradilan Mahkamah Agung hilang satu tumbuh seribu. Perlu bersih-bersih secara menyeluruh.

Tempo

Minggu, 3 November 2024

SEPERTI virus, mafia peradilan beregenerasi dengan cepat. Setelah Komisi Pemberantasan Korupsi mencokok dua Sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi Abdurrachman dan Hasbi Hasan, pada 2020 dan 2023, Kejaksaan Agung kini menangkap Zarof Ricar. Mantan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung itu diduga menjadi makelar kasus putusan kasasi dan peninjauan kembali.

Zarof ditangkap setelah jaksa mencokok tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang membebaskan Gregorius Ronald Tannur, terdakwa pembunuhan, karena menerima suap Rp 20 miliar. Pemberi uang suap adalah pengacara Ronald, Lisa Rachmat. Melalui Zarof, Lisa hendak menyuap hakim agung agar menolak permohonan kasasi jaksa atas putusan bebas itu.

Besel Rp 5 miliar memang baru sampai di tangan Zarof Ricar sehingga hakim agung tetap menghukum Ronald Tannur lima tahun bui. Namun temuan majalah ini mengungkap motif lebih menjijikkan: hukuman tingkat kasasi yang jauh di bawah tuntutan jaksa itu dijatuhkan sekadar untuk memancing pengacara terdakwa agar menggugat putusan ke tingkat peninjauan kembali. Jika pancingan berhasil, hakim agung dan para makelar kasus akan menangguk uang suap lebih banyak. 

Zarof Ricar diduga menjadi pengepul dan distributor uang suap itu. Temuan uang tunai hampir Rp 1 triliun di rumahnya mengkonfirmasi dugaan bahwa ia telah lama menjadi makelar kasus. Jabatannya strategis mengatur putusan hukum di Mahkamah Agung. Sebagai Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan, ia berwenang memutasi, mendemosi, atau mempromosikan hakim. Dengan posisi itu, Zarof leluasa menyetir hakim mengatur putusan kasasi atau peninjauan kembali sesuai dengan pesanan.

Uang tunai yang ditemukan jaksa di rumahnya bukan tak mungkin juga mencakup suap dari para hakim yang ingin naik jabatan. Karena itu, jaksa mesti menelusuri jaringan makelar kasus di Mahkamah Agung sampai tuntas. Sebab, dalam kasus Hasbi Hasan, rekayasa putusan kasasi pailit Koperasi Simpan Pinjam Intidana di Semarang tak dilakukannya seorang diri, tapi juga melibatkan hakim agung Sudrajad Dimyati dan Gazalba Saleh.

Untuk mengurainya, tak ada cara selain memecat semua hakim dan memutasi para pejabat Mahkamah Agung. Upaya-upaya reformasi hukum terbukti gagal membasmi mafia peradilan dari rezim ke rezim. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang membentuk Satuan Tugas Antimafia Hukum pada 2004 tak berkutik dengan meruyaknya makelar hukum di semua level pengadilan.

Pejabat yang seyogianya bisa melakukan bersih-bersih itu adalah Ketua Mahkamah Agung. Namun Sunarto, Ketua Mahkamah yang baru, juga tersangkut dugaan penyelewengan honorarium penanganan perkara. Ia tak akan bisa membersihkan Mahkamah Agung karena punya rekam jejak yang sama hitamnya. Apalagi kemenangan Sunarto ditengarai diatur Zarof Ricar dengan mengarahkan suara hakim agung agar memilihnya.

Lingkaran setan mafia peradilan ini tak akan putus selama Mahkamah Agung menjadi lembaga tanpa pengawasan. Undang-Undang Komisi Yudisial sebenarnya sudah membuka peluang pengawasan hakim agung. Namun Mahkamah Agung menggugat undang-undang itu ke Mahkamah Konstitusi yang membuat Komisi Yudisial batal mempunyai kewenangan mengawasi Mahkamah Agung.

Komisi Yudisial kini sekadar lembaga penerima aduan perilaku lancung para hakim tanpa wewenang menghukum. Badan Pengawasan Mahkamah Agung, lembaga yang berwenang mengadukan perilaku tak terpuji para hakim, pun tak banyak mengajukan laporan.

Mafia peradilan akan terus merajalela karena sistem hukum dan pengawasannya dipaksa ompong. Mengharapkan Dewan Perwakilan Rakyat merevisi Undang-Undang Komisi Yudisial juga bak menggantang asap mengingat keputusan-keputusan legislasi acap disusupi kepentingan. Jikapun Komisi Yudisial diberi wewenang mengawasi para hakim, tugas berikutnya adalah mencari orang bersih yang bisa diandalkan untuk memimpin lembaga itu. 

Hukum tak bisa dilepaskan dari politik. Perbaikan sistem hukum tak bisa direnggangkan dari perbaikan sistem politik. Dengan praktik demokrasi prosedural dan merajalelanya penyelewengan di lembaga-lembaga politik, mengharapkan hukum tegak ibarat menanam padi di atas batu. 

Berita Lainnya