Penguasa dan Pengusaha di Balik Pemilihan Ketua MA

Gelanggang pemilihan Ketua Mahkamah Agung memanas. Ditengarai sarat kepentingan penguasa dan pengusaha.

Tempo

Minggu, 6 Oktober 2024

ADA pertanyaan besar pada setiap penyelenggaraan pemilihan Ketua Mahkamah Agung: apakah pejabat yang terpilih bisa menjaga integritas lembaga peradilan? Kini, dua pekan menjelang pemilihan, pertanyaan itu lebih sulit dijawab. Musababnya, kurangnya transparansi dalam proses penentuan calon.

Pemilihan Ketua MA digelar untuk menentukan pengganti Muhammad Syarifuddin yang akan pensiun pada 17 Oktober 2024. Sesuai dengan ketentuan, Ketua MA dipilih dari dan oleh hakim agung yang saat ini berjumlah 46 orang.

Mekanisme pemilihan pemimpin yang diserahkan sepenuhnya ke lingkungan internal MA sebenarnya baik-baik saja. Model ini lebih menjamin kemerdekaan Mahkamah Agung dibanding pada masa Orde Baru ketika Ketua MA diangkat oleh presiden atas usulan Dewan Perwakilan Rakyat.

Walau begitu, mekanisme pemilihan yang juga dianggap lebih demokratis tersebut bisa menjadi bumerang jika tak diiringi dengan transparansi dan partisipasi publik. Lemahnya pengawasan dalam suksesi kepemimpinan MA akan menjadi celah terjadinya persekongkolan politik dan perilaku korup lain, baik di antara para hakim agung maupun oleh pihak luar yang berkepentingan atas kekuasaan kehakiman.

Sayangnya, mitigasi terhadap tingginya risiko dalam agenda suksesi Ketua MA justru tak tecermin dalam penyelenggaraan pemilihan kali ini. Ritual lima tahunan MA ini, yang semestinya sama pentingnya dengan pemilihan presiden di kekuasaan eksekutif, justru senyap dan tertutup rapat dari jangkauan rakyat banyak.

Hingga pekan lalu, pimpinan MA belum memutuskan tanggal penyelenggaraan pemilihan. Dengan waktu yang makin mepet, usulan lama kalangan pemantau peradilan agar pemilihan ketua di kalangan internal Mahkamah disertai seleksi yang akuntabel tak mungkin terakomodasi.

Walhasil, belum ada pula kepastian tentang siapa saja hakim agung yang akan menjadi kandidat, meski beberapa nama telah disebut-sebut. Persoalannya, sejauh ini bursa calon Ketua MA diramaikan oleh nama-nama hakim agung yang punya tanggungan masalah. Wakil Ketua MA Bidang Yudisial Sunarto, misalnya, tengah terbelit kasus dugaan pungutan honor penanganan perkara. Sorotan tajam juga mengarah kepada Ketua Kamar Tata Usaha Negara Yulius atas putusan janggal MA dalam perkara uji materi batas usia calon kepala daerah.  

Hal yang tak kalah mengkhawatirkan, bau tak sedap justru berembus dari ruang gelap pemilihan Ketua MA. Dalam sebulan terakhir, tensi di lingkungan internal Mahkamah Agung memanas dengan mencuatnya berbagai borok MA yang disinyalir sebagai bagian aksi saling serang antarkubu. Sejumlah politikus dan pengusaha diduga turun tangan menyediakan “bahan bakar” agar jagoan mereka merebut mayoritas suara hakim agung di hari pemilihan. Pemilihan ketua lembaga kehakiman tak ubahnya partai politik yang penuh intrik dan permainan.

Kondisi ini sungguh memprihatinkan. Harapan agar pemilihan Ketua MA bisa menghasilkan pemimpin yang mampu membereskan seabrek persoalan di lembaga peradilan agaknya mustahil terwujud. Integritas kekuasaan kehakiman justru berada di tubir jurang.

Berita Lainnya