Beking Korupsi Tambang Timah Ilegal. Siapa?
Kejaksaan Agung mengusut korupsi perizinan tambang timah di Bangka Belitung. Mesti mengungkap sampai jejaring bekingnya.
Tempo
Minggu, 10 Maret 2024
UPAYA Kejaksaan Agung mengusut skandal korupsi tata niaga komoditas timah di Bangka Belitung seharusnya tak berhenti pada keterlibatan bekas anggota direksi PT Timah Tbk dan sejumlah pengusaha, seperti Tamron Tamsil. Penanganan perkara ini mesti membongkar beking penikmat hasil tambang ilegal yang menimbulkan kerugian lingkungan bernilai Rp 271 triliun itu.
Dugaan adanya orang berpengaruh dalam kasus ini muncul setelah Kejaksaan menangkap Suparta dan Reza Andriansyah, keduanya anggota direksi PT Refined Bangka Tin (RBT). Berdasarkan alat bukti yang diperoleh, penyidik meyakini Suparta dan Reza aktif menginisiasi rapat dengan pihak PT Timah agar mau menampung bijih timah dari sejumlah perusahaan yang menambang secara ilegal di wilayah PT Timah. PT RBT disebut berkaitan dengan Robert Priantono Bonosusatya, pengusaha timah yang dekat dengan banyak pejabat kepolisian.
Kecurigaan bahwa pebisnis ini membekingi penambangan liar tergambar dari informasi Ketua Dewan Perwakilan Daerah AA La Nyalla Mahmud Mattalitti. Menelusuri sengkarut perdagangan timah di Bangka Belitung pada 2019, ia menerima laporan dari 27 pemilik smelter yang operasinya dihentikan oleh kepolisian karena aktivitas mereka dianggap ilegal. Para pengusaha smelter itu sebelumnya dilaporkan ke Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI. Puluhan perusahaan itu lantas diminta menjual mineral mentah ke PT Timah. Anehnya, PT Timah justru menunjuk lima smelter menjadi mitra, termasuk PT RBT.
Pertalian antara aparat dan pengusaha beking tambang ilegal tak sekadar menguntungkan mereka secara finansial. Institusi penegak hukum bahkan memberikan “perlindungan” bagi pihak yang seharusnya diproses hukum. Dalam perkara tambang timah ilegal di Bangka Belitung, pengusaha kuat yang diduga terlibat belum tersentuh proses hukum.
Kejaksaan Agung memang sudah menetapkan 14 tersangka dalam penanganan perkara korupsi tata niaga timah di Bangka Belitung ini. Meski begitu, Kejaksaan Agung harus berani menyeret pebisnis tambang berpengaruh yang selama ini menyokong serta meraup untung dari aktivitas tambang ilegal, bukan sekadar menjerat tersangka di level manajemen dan pengusaha yang korporasinya cuma dijadikan boneka.
Penangkapan Suparta dan Reza serta belasan tersangka lain semestinya menjadi pintu masuk untuk mengungkap peran dan keterlibatan para beking. Dugaan kongkalikong antara pebisnis dan berbagai pihak untuk melindungi aktivitas tambang ilegal harus diselisik, termasuk membuka kemungkinan adanya persekongkolan koruptif antara pengusaha dan aparat penegak hukum. Kalau memang ditemukan bukti yang kuat, Kejaksaan Agung tak boleh gentar mengusut dan menyeret siapa pun yang terlibat perkara perizinan tambang timah ini.
Praktik beking yang dijalankan pengusaha berpengaruh dengan menggaet pejabat negara dan penegak hukum sudah lama menghambat terselenggaranya pemerintahan yang bersih. Dalam soal tambang ilegal, membiarkan beking tambang tak terjamah hukum merupakan awal kerusakan lingkungan lebih besar. Pengusaha serakah, bekerja sama dengan pejabat dan aparat korup, mengeksploitasi sumber daya alam secara ugal-ugalan.