Benarkah KPK Menjadi Alat Politik di Sidoarjo

KPK terkesan menjadi alat politik dalam kasus korupsi di Sidoarjo. Perlu melanjutkan penyidikan untuk menghapus kesan itu.

Tempo

Minggu, 4 Februari 2024

PADA kasus korupsi di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, kita bisa melihat praktik hukum yang absurd. Komisi Pemberantasan Korupsi makin hilang arah. Lembaga yang dibentuk sebagai hasil Reformasi 1998 itu bahkan terkesan menjadi alat penggebuk demi usaha pemenangan pemilihan presiden.

Simbol absurditas itu ada pada Bupati Ahmad Muhdlor Ali. Ia dituduh terlibat dalam pemotongan insentif pegawai yang melibatkan anak buahnya di lingkungan pemerintah Sidoarjo. Komisi antikorupsi menangkap sebelas pegawai pemerintah kabupaten itu dan pihak swasta. Berbeda dengan prosedur standar, lembaga itu baru menetapkan seorang tersangka empat hari setelah operasi penangkapan. Dialah Kepala Subbagian Umum dan Kepegawaian Badan Pelayanan Pajak Daerah (BPPD) Kabupaten Sidoarjo Siska Wati.

Komisi antikorupsi menduga Muhdlor menerima setoran duit melalui orang kepercayaannya. Duit dikumpulkan Siska dari hasil pemotongan 10-30 persen insentif BPPD periode 2023. Jumlahnya Rp 2,7 miliar. Meski begitu, KPK belum menetapkan politikus Partai Kebangkitan Bangsa itu sebagai tersangka. Petugas komisi antirasuah baru menggeledah rumah dinasnya. Pada saat itu penghuni rumah dikabarkan menghilang.

Tepat sehari setelah penggeledahan, Muhdlor muncul di tengah massa kampanye pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Ia berselawat—melantunkan doa dan pujian untuk Nabi Muhammad—serta berorasi menyerukan dukungan untuk pasangan yang disokong terang-terangan oleh Presiden Joko Widodo itu. Sikap politik Sang Bupati berbeda dengan Partai Kebangkitan Bangsa, yang mencalonkan pasangan Anies Rasyid Baswedan-Muhaimin Iskandar.

Tak aneh jika muncul penilaian: Muhdlor berlindung pada koalisi pendukung Prabowo-Gibran. Apalagi berembus pula kabar bahwa sebagian pemimpin partai dipaksa bergabung ke koalisi menggunakan “sandera kasus hukum”. Dengan dukungan rezim beserta sebagian besar perangkatnya, pasangan itu memang banyak diprediksi bakal memenangi pemilihan.

KPK pun seolah-olah menjadi alat untuk menekan buat menaklukkan pengganggu usaha pemenangan. Wilayah Jawa Timur, termasuk Sidoarjo yang memiliki jumlah pemilih hingga 1,4 juta orang, merupakan medan perebutan suara di antara para calon presiden. Bukan kebetulan Bupati Muhdlor berasal dari keluarga pemilik pesantren yang memiliki pengaruh di kawasan itu.

Kesan bahwa KPK hanya menjadi alat politik makin kuat jika lembaga itu kemudian mengalihkan kasus ini ke kepolisian. Dengan model “penegakan hukum” seperti ini—menggunakan tanda kutip karena yang sebenarnya terjadi adalah pelemahan hukum—tak ada harapan bagi publik untuk mendapatkan pemerintahan yang bebas dari korupsi. Sekarang peringkat Indonesia dalam urusan ini terus terperosok, berada di urutan ke-115 dari total 180 negara yang disurvei Transparency International. 

Tak ada jalan bagi KPK untuk menghapus kesan itu selain melanjutkan penyidikan kasus Sidoarjo secara cepat dan tuntas. Para penyidik perlu menelusuri aliran dana pungutan itu secara cermat dan akurat. Jika terlibat, bupatinya harus segera diproses hukum, tak peduli dia kini berada di barisan koalisi pendukung penerus Jokowi. Tanpa langkah itu, KPK akan dicatat sebagai lembaga yang ikut merusak demokrasi.

Berita Lainnya