Klientelisme Telanjang Dana Desa

Asosiasi Perangkat Desa Indonesia menuntut alokasi anggaran sepersepuluh dari APBN. Contoh nyata klientelisme.

Tempo

Minggu, 9 Juli 2023

ASOSIASI Perangkat Desa Indonesia (Apdesi) mempraktikkan klientelisme yang biasanya tertutup secara terang-terangan. Organisasi kepala desa ini menuntut penambahan dana desa menjadi sepuluh persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara melalui Istana Negara dan Dewan Perwakilan Rakyat.

Sejak awal tuntutan Apdesi terasa berlebihan. Dalam demonstrasi perdana Januari lalu, mereka menyampaikan sepuluh tuntutan, yang paling menonjol adalah perpanjangan masa jabatan kepala desa selama sembilan tahun dan peningkatan dana desa. Tuntutan ini kembali disuarakan dalam demonstrasi terakhir pada 5 Januari lalu di depan kompleks DPR. Gayung bersambut, DPR menyetujui sebagian besar tuntutan.

Klientelisme atau politik klien dapat dimaknai sebagai timbal balik dukungan antara politikus dan akar rumput sebagai penyumbang suara. Pola semacam ini biasanya muncul menjelang pemilihan umum. Itu sebabnya sepuluh tuntutan Apdesi ditengarai sebagai posisi tawar Apdesi terhadap politikus dan partai politik menjelang pemilu tahun depan. Praktik semacam ini berbahaya bagi demokrasi karena segala cara akan diupayakan, termasuk menabrak konstitusi, demi mendulang dukungan.

Untuk mengegolkan tuntutan, Apdesi bermanuver dengan mengusung penambahan masa jabatan Presiden Joko Widodo menjadi tiga periode. Lewat politikus partai pendukungnya, Jokowi kabarnya mendukung tuntutan Apdesi. Melihat angin segar dari Istana, partai politik pendukung pemerintah lalu ikut gerbong. Bagaimanapun, perangkat desa adalah orang paling dekat dengan basis massa di daerah masing-masing yang berpotensi mendongkrak perolehan suara partai.

Berbeda dengan nasib pembahasan revisi undang-undang lain yang tersendat, DPR langsung tancap gas dengan mengajukan revisi Undang-Undang Desa. Prosesnya pun berlangsung kilat. Dalam tempo dua pekan selama pertengahan Juni hingga awal Juli lalu, DPR menyepakati 19 poin perubahan dalam revisi Undang-Undang Desa. DPR mengusulkan penambahan anggaran dana desa diambil dari 20 persen total dana transfer daerah. Langkah ini menunjukkan revisi undang-undang hanya berdasarkan kepentingan politik jangka pendek Pemilu 2024.

Tapi usulan penambahan itu tak membuat Apdesi puas. Mereka ngotot dana desa tetap dialokasikan sepuluh persen di APBN. Jika dihitung dari APBN tahun 2023 yang mencapai Rp 3.061 triliun, dana desa akan mencapai Rp 300 triliun. Jumlah ini melejit dari kucuran dana desa tiap tahun yang mencapai Rp 900 juta hingga Rp 1 miliar saat ini. Bila disetujui, 74.960 desa akan menerima anggaran hingga Rp 5-10 miliar per tahun.


Baca artikelnya:


Tuntutan itu tak sinkron dengan evaluasi penggunaan dana desa. Pemerintah memfokuskan dana desa untuk mengentaskan warga miskin. Namun korupsi marak akibat pengelolaan anggaran yang serampangan. Sepanjang 2021, Indonesia Corruption Watch mencatat 363 mantan kepala desa masuk penjara karena menggasak dana desa.

Potensi korupsi makin besar karena Apdesi menuntut lima persen dana desa untuk kegiatan operasional. Selama sistem pengawasan dan pertanggungjawabannya lemah, dana desa akan menjadi lahan bancakan bagi para penghulu desa.

Berita Lainnya