Bahaya Ekspor Pasir Laut

Menabrak undang-undang, Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 sungsang sejak awal. Watak inkonstitusional pemerintahan Joko Widodo. 

Tempo

Minggu, 11 Juni 2023

PERATURAN Pemerintah tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut mengecoh publik sejak dari judulnya. Terbit pada 15 Mei lalu, PP Nomor 26 Tahun 2023 itu seolah-olah hendak melindungi ekosistem perairan. Padahal, menyelisik isinya, peraturan ini justru melegalkan penambangan pasir laut yang dilarang Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sejak 2007 dan membuka kembali keran ekspor pasir laut yang ditutup sejak 2003. 

Hasil sedimentasi laut berbeda dengan pasir laut. Hasil sedimentasi laut merupakan material organik dan nonorganik yang terbentuk secara alami di dasar laut. Tumpukan material vulkanis gunung api, misalnya, memang bisa mengganggu ekosistem karena bahan kimianya merusak terumbu karang atau padang lamun yang menyerap karbon biru dalam jumlah besar. Tapi mengeruk sedimen dengan kapal isap akan pula menggaruk pasir laut dan terumbu karang yang menjadi fondasi ekosistem perairan dan melepaskan karbon penyebab krisis iklim.

Apalagi Pasal 9 PP Nomor 26 Tahun 2023 secara jelas mengizinkan pemanfaatan pasir laut untuk infrastruktur, reklamasi, pembangunan sarana dan prasarana, hingga ekspor. Ketentuan ini terang-terangan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 yang berisi pasal-pasal pelindungan wilayah pesisir. 

Terbitnya PP ini merupakan wujud watak inkonstitusional pemerintahan Joko Widodo. Peraturan pemerintah seharusnya tidak menganulir undang-undang. Untuk menghindari kegaduhan membicarakan regulasi di Dewan Perwakilan Rakyat, pemerintah menerbitkan PP yang tak harus melibatkan partisipasi publik dan memanipulasi orang ramai lewat eufemisme dan politik bahasa.

Pembuatan atau revisi undang-undang membutuhkan waktu lama dan biaya mahal. Penolakan masyarakat terhadap proses dan isi undang-undang bisa mengulur waktu implementasi. Dengan fakta ini, kita dapat menduga ada agenda tersembunyi di balik penerbitan PP Nomor 26 Tahun 2023.

Selain prosesnya yang menabrak aturan, PP Nomor 26 Tahun 2023 tampak menguntungkan segelintir pihak, di antaranya pemerintah Singapura. Negara tetangga ini membutuhkan pasir untuk pembangunan infrastruktur dan reklamasi meluaskan daratan. Kita tahu, Singapura sedang dirayu pemerintah untuk berinvestasi di ibu kota negara (IKN) Nusantara, proyek mercusuar Jokowi yang kurang diminati pemodal. 

Kuat diduga PP Nomor 26 Tahun 2023 telah menjadi alat tukar untuk memuluskan pembangunan IKN. Diizinkan mengimpor pasir laut, Singapura tak perlu mencari pasir dari negeri yang jauh dengan biaya mahal. Kedua negara juga bisa sama-sama untung: Indonesia menangguk devisa dan investor IKN, sementara Singapura bisa terus mereklamasi lautnya untuk menumbuhkan ekonomi mereka.

Masalahnya, tinjauan ekonomi yang sepintas bermanfaat itu tak transparan. Tak ada kajian meyakinkan tentang potensi ekonomi ekspor pasir laut ataupun dampak lingkungannya. PP Nomor 26 Tahun 2023 cenderung mengakomodasi industri besar—perusahaan dengan kapal isap berkapasitas minimal 20 ribu meter kubik. Tentu hanya konglomerasi yang punya kapal sebesar ini.

PP Nomor 26 Tahun 2023 bermasalah sejak dari niatnya. Di era Jokowi, katebelece bukan sekadar surat sakti kemudahan perizinan, tapi berbentuk regulasi yang dibuat sedemikian rupa untuk menguntungkan segelintir elite.


Baca liputannya:


Manipulasi kebijakan ini lebih gawat dari korupsi melalui peran negara. Dalam state capture corruption, pengusaha atau juragan politik melakukan korupsi dengan mempengaruhi kebijakan pemerintah. Dalam soal PP pasir laut, aktor negara sukarela membuat regulasi untuk menguntungkan pihak tertentu dan menjadikannya alat tukar kepentingan lain.

Karena itu, tak mengherankan jika PP Nomor 26 Tahun 2023 sejak awal didesain lemah dalam hal pengawasan dan hukuman. Pasal tentang pengawasan disusun seadanya. Hukuman atas pelanggaran penambang dan eksportir pasir hanya denda dan pencabutan izin usaha. Jika begini, dalih pemerintah bahwa peraturan ini dibuat untuk melindungi ekosistem laut tak bisa diterima. Yang ada adalah kebijakan buruk yang bakal melahirkan banyak bencana dan kerusakan.

Berita Lainnya