Mengapa Polri Tak Membongkar Jaringan AKBP Achiruddin Hasibuan?

Kepolisian cenderung melindungi anggotanya yang terlibat perkara. Kegagalan reformasi Polri.

Tempo

Minggu, 21 Mei 2023

PADA sejumlah perkara yang melibatkan anggotanya, penegakan hukum di kepolisian hanya bertujuan menghentikan berita yang viral di media sosial. Karena kasusnya disorot publik, polisi yang dipersoalkan bisa saja dikerangkeng. Tapi kejahatan yang diusut tergolong ringan. Sedangkan perkara lebih berat dibiarkan melenggang begitu saja.

Kasus Ajun Komisaris Besar Achiruddin Hasibuan bisa masuk kategori ini jika Kepolisian Daerah Sumatera Utara hanya menjadikan dia sebagai tersangka karena membiarkan anaknya menganiaya seorang mahasiswa. Pengusutan perkara ini jadi serba cepat setelah video penganiayaan tersiar pada 25 April lalu, lebih dari empat bulan sejak kasus dilaporkan ke kepolisian. Agaknya polisi baru bertindak jika kasus digunjingkan warganet lebih dulu.

Sampai di sini polisi seperti telah menunaikan tugasnya dengan baik. Proses hukum perkara penganiayaan bergulir. Achiruddin dipecat dan dijadikan tersangka. Anaknya, Aditya, malah lebih dulu jadi tersangka dan ditahan.

Namun, untuk perkara lain, polisi tak bergegas mengusutnya. Setelah kekayaan Achiruddin disorot, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan memblokir rekening dia dan anaknya. Isi rekening Achiruddin yang mencapai puluhan miliar rupiah tak sesuai dengan profilnya sebagai perwira menengah.

Polisi menyatakan telah menemukan pintu masuk untuk mengusut pencucian uang. Ada aliran uang Rp 7,5 juta tiap bulan yang disetor perusahaan pemasok bahan bakar industri. Namun menjadikan gratifikasi tersebut semata-mata sebagai tindak pidana asal pencucian uang akan tak masuk nalar. Jika dihitung sejak 2018, sebagaimana pengakuan Achiruddin, total yang diterimanya tak sampai Rp 500 juta. Ini berarti polisi tak mendalami transaksi lain. Polisi juga belum masuk ke pidana lain, yakni penyelewengan solar subsidi untuk keperluan industri.

Perlakuan polisi terhadap Achiruddin tak jauh beda dengan proses hukum Ismail Bolong, polisi yang terlibat penambangan ilegal batu bara di Kalimantan Timur. Dia menjadi tersangka penambangan ilegal, tapi dugaan aliran duit hasil tambang itu kepada sejumlah polisi, termasuk petinggi Polri, serta pencucian uangnya tak diusut. Isunya meruap setelah Ismail ditahan. “Yang penting jadi tersangka dulu” tampaknya jadi kecenderungan untuk meredam sorotan publik pada skandal yang lebih besar.


Baca liputannya:


Penegakan hukum yang pilih-pilih demi melindungi kawan sendiri ataupun untuk menghindari pelototan masyarakat tak menghadirkan keadilan sejati. Polisi mungkin sukses memperbaiki citranya, tapi tak pernah berhasil membangun institusinya. Reformasi Polri yang dulu digembar-gemborkan gagal menuntaskan persoalan struktural dan kultural di kepolisian.

Setiap kali ada polisi yang terlibat perkara, kepolisian akan menyebutnya sebagai “oknum”. Padahal “oknum” muncul karena adanya kewenangan besar yang minim pengawasan, sikap permisif terhadap gratifikasi, pola hubungan atasan dan bawahan yang menciptakan budaya setoran, hingga dipeliharanya kultur kekerasan. “Oknum” juga digunakan untuk mengecilkan pelaku, seolah-olah hanya satu-dua. Namun, karena reformasi Polri tak pernah memberantas penyakitnya sampai ke akar, satu markas bisa dihuni “oknum” semua.

Berita Lainnya