Minim Dorongan Ekonomi Akibat Utang
The Fed akan menurunkan bunga acuan pada September 2024. Utang pemerintah membuat sentimen global tak memperkuat rupiah.
PERHATIAN investor di seluruh dunia kembali tertuju pada sidang The Federal Reserve atau The Fed. Kabar yang dinanti-nanti, kapan suku bunga turun, akhirnya tiba juga. Sidang yang berlangsung pada Rabu, 31 Juli 2024, tersebut memang belum menurunkan bunga saat itu juga. Namun ada sinyal kuat bahwa bunga turun September mendatang.
Ini kabar baik bagi negara berkembang seperti Indonesia. Bunga The Fed yang lebih rendah akan membuat dana investasi global yang selalu berkelana mencari tempat paling menguntungkan kembali ke sini. Misalnya, dana-dana itu kembali mengalir masuk ke obligasi pemerintah Indonesia yang memberi imbalan lebih menarik.
Selain ihwal bunga The Fed, Selasa, 30 Juli 2024, ada satu kabar baik bagi pasar keuangan Indonesia. S&P Global, salah satu lembaga pemeringkat utama di dunia, mempertahankan peringkat Indonesia dalam kategori layak investasi, BBB/A-2, dengan outlook stabil.
S&P menilai Indonesia masih mampu mengatasi gejolak pasar global di tengah ketidakpastian situasi politik ataupun ekonomi yang masih tinggi. Dalam hal pertumbuhan ekonomi, S&P masih optimistis. Ekonomi Indonesia akan menikmati pertumbuhan rata-rata sekitar 5 persen per tahun karena dorongan konsumsi domestik yang masih kuat.
Namun, ada beberapa catatan penting tentang sejumlah risiko yang bisa mengancam terwujudnya proyeksi optimistis itu. Misalnya, potensi gejolak karena runtuhnya harga berbagai komoditas ekspor Indonesia, entah karena meluasnya konflik di Timur Tengah entah lantaran perang dagang yang kian intensif antara Cina dan negara-negara Barat.
Guncangan itu bisa memperburuk tren penurunan pendapatan ekspor yang sekarang masih berlangsung. Jika tak ada pembalikan tren itu, penurunan surplus perdagangan pada akhirnya bisa mengancam keseimbangan eksternal Indonesia, menggerus neraca transaksi berjalan ataupun neraca pembayaran.
Catatan lain yang jauh lebih penting dalam konteks Indonesia adalah pergantian pemerintahan dua bulan lagi. Pasar masih menelaah apakah Prabowo Subianto selaku presiden terpilih akan benar-benar mampu menjaga disiplin fiskal, tidak menambah utang secara eksesif.
Jika S&P yang kita pakai sebagai rujukan, pasar sebetulnya masih bisa mengakomodasi kenyataan bahwa pemerintahan baru memang masih harus menambah utang. Tapi ada batas-batas yang tak boleh dilewati.
Pertama, tambahan nilai utang baru pemerintah setiap tahun tidak melampaui 3 persen dari produk domestik bruto (PDB). Kedua, anggaran untuk membayar bunga setiap tahun tidak melebihi 15 persen dari penerimaan pemerintah. Jika batas-batas itu dilanggar secara konsisten dari tahun ke tahun, keyakinan pasar terhadap Indonesia akan merosot. Itu bisa memaksa S&P menurunkan peringkat.
Yang mencemaskan, saat ini ada batas itu yang nyaris terlewati. Bahkan ada yang sudah terlampaui. Mari kita tengok angkanya. PDB Indonesia 2024 sekitar Rp 21,9 triliun dengan asumsi ada pertumbuhan 5 persen. Berarti batas tambahan utang pemerintah tahun ini maksimal Rp 658,3 triliun. Menurut Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2024, pemerintah berencana menambah utang Rp 648 triliun, nyaris menyentuh limit.
Sedangkan batas yang lain, pembayaran bunga maksimal 15 persen dari penerimaan pemerintah, justru sudah terlewati. Tahun lalu angkanya 16,9 persen. Tahun ini, rasio itu berdasarkan APBN 2024 naik menjadi 17,9 persen.
Angka-angka itu sebetulnya sudah gamblang berbicara. Prabowo kelak masih bisa menambah utang, tapi harus dalam jumlah yang sangat terbatas dalam koridor batas aman. Tak ada ruang lagi baginya untuk menambah utang demi mengongkosi program-program baru dan ambisius yang membutuhkan pembiayaan besar sehingga membuat pemerintah harus menambah utang secara ugal-ugalan.
Itulah sebabnya rupiah bergeming meski ada sentimen positif soal suku bunga. Kursnya masih di atas Rp 16.200 per dolar Amerika Serikat, enggan turun ke bawah Rp 16 ribu. Pasar masih menunggu kepastian apakah pemerintahan baru kelak mau menerima kenyataan bahwa kondisi keuangan pemerintah memang sudah genting. Tak ada lagi kesempatan untuk royal berbelanja dengan duit utang.