Karma Politik Ridwan Kamil di Pilkada Jakarta
Ridwan Kamil seharusnya sadar sejak awal dukungan dari partai-partai pengusungnya tidak tulus. Kerugian bagi publik.
RIDWAN Kamil seperti sedang menerima karma instan. Menjelang hari pemungutan suara, beberapa partai politik pengusungnya dalam pemilihan Gubernur Jakarta 2024, seperti Partai NasDem, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Amanat Nasional, malah meninggalkannya. Ridwan Kamil seharusnya sadar sejak awal dukungan politik dari partai-partai yang mengusungnya tidaklah tulus.
Baru saja masuk Partai Golkar, ia diusung partai beringin bersama partai-partai lain yang menamakan diri “Koalisi Indonesia Maju (KIM) plus” maju sebagai calon Gubernur Jakarta. Setidaknya ada 12 partai yang bergabung dalam gerbong ini, mengusung mantan Gubernur Jawa Barat itu berpasangan dengan politikus Partai Keadilan Sejahtera, Suswono.
Di luar Partai Gerindra dan Golkar, partai-partai mendukung Ridwan karena desakan Presiden Joko Widodo agar mereka tidak mendukung Anies Baswedan, atau lebih tepatnya menghalangi Anies maju dalam pemilihan kepala daerah Jakarta. Sebelumnya, PKS menetapkan Anies berpasangan dengan kader mereka, M. Sohibul Iman. NasDem pun sebelumnya menyatakan mengusung Anies dan sudah tutup buku dengan Ridwan Kamil.
Sebagian masyarakat Jakarta tampaknya resistan terhadap Ridwan Kamil. Saat ia bertandang ke makam Mbah Priok di Jakarta Utara pada awal September 2024, ada yang berteriak memintanya turun dari podium. Mereka menganggap Jakarta bukan rumah Ridwan. The Jakmania, pendukung klub sepak bola Persija Jakarta, juga menolaknya. Rival terberat Persija selama ini adalah Persib Bandung dari Jawa Barat. Saat menjadi Gubernur Jawa Barat, Ridwan pernah melontarkan sindiran yang dianggap menghina Persija.
Dengan berbagai resistansi dan koalisi yang tidak solid itu, mesin partai tidak optimal menggalang suara. Setelah kampanye dua bulan terakhir dan debat calon gubernur, elektabilitas Ridwan Kamil-Suswono perlahan menyusut.
Lembaga Survei Indonesia mencatat elektabilitas Ridwan-Suswono hanya 37,4 persen. Sedangkan rivalnya, Pramono Anung-Rano Karno, melesat dengan 41,6 persen. Adapun pasangan independen Dharma Pongrekun-Kun Wardana di urutan buncit dengan elektabilitas 6,6 persen. Ada 9,9 persen responden yang ragu-ragu menentukan pilihan. Elektabilitas kandidat gubernur memang masih bisa naik-turun hingga pemungutan suara pada 27 November 2024. Namun, berdasarkan sigi itu, elektabilitas Ridwan-Suswono telah turun 6,5 persen.
Pasangan Ridwan Kamil-Suswono, yang disingkat “Rido”, juga sempat melakukan blunder. Suswono melontarkan candaan janda kaya di Jakarta menikahi anak muda yang belum bekerja untuk mengurangi penganggur sebagai bagian dari program kesejahteraan sosial untuk semua. Pernyataan itu menuai kecaman hingga Suswono perlu mengklarifikasinya.
Pilkada Jakarta menunjukkan gambaran nyata kandidat pemilihan gubernur maju tanpa visi-misi yang jelas dan terukur. Koalisi yang mengusung mereka juga hanya berdasarkan kepentingan sesaat daripada komitmen jangka panjang.
Dalam konteks dukungan terhadap Ridwan Kamil, partai politik dan koalisi mengambil keputusan semata-mata guna menanggapi situasi tertentu. Akibatnya, dukungan itu rapuh ketika situasi politik tersebut sudah berubah. Tanpa ada visi-misi yang jelas dan komitmen yang tegas, masyarakat yang akan menangguk kerugian terbesar dalam lima tahun mendatang.