Saatnya Stop Mengecualikan Emisi Karbon Militer dalam Mitigasi Krisis Iklim
Emisi dari perang dan sektor militer sangat merusak lingkungan. Sering diabaikan karena tekanan politik global.
PERANG, dengan segala kebrutalannya, selalu memunculkan gambaran mengerikan tentang kehancuran jiwa manusia dan harta benda. Serangan militer Israel ke Gaza, misalnya, telah menewaskan lebih dari 31 ribu orang. Invasi Rusia ke Ukraina menyebabkan lebih dari 30 ribu warga sipil tewas. Di luar itu, yang sering terabaikan adalah kerusakan lingkungan akibat perang yang dalam jangka panjang bisa lebih mematikan.
Bila peduli pada masa depan bumi, sudah saatnya kita menuntut tanggung jawab militer atas kerusakan lingkungan akibat perang. Invasi Israel ke Gaza dan invasi Rusia ke Ukraina, misalnya, telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang dahsyat. Penggunaan bahan kimia dan senjata telah merusak tanah, mencemari sumber air, dan bahkan mengancam keberlangsungan ekosistem laut.
Bukan hanya itu, emisi gas rumah kaca yang dilepaskan dalam perang juga berkontribusi pada pemanasan global. Serangan Israel ke Gaza dalam 60 hari saja menghasilkan 281 juta ton setara CO2. Dalam perang Rusia di Ukraina, emisinya sekitar 150 juta ton setara CO2.
Berdasarkan kalkulasi The Conflict and Environment Observatory, sektor militer menyumbang 5,5 persen dari emisi global. Jumlah itu lebih besar dari sumbangan emisi dari sektor industri (5,2 persen) dan sampah (3,2 persen).
Yang mengherankan, betapapun perang dan aktivitas militer menghasilkan emisi begitu besar, topik ini jarang menjadi fokus pembicaraan global. Dalam Konferensi Perubahan Iklim Ke-28 (COP28) di Dubai, Uni Emirat Arab, pada Desember 2023, misalnya, tak ada agenda pembahasan resmi dan negosiasi soal emisi perang dan sektor militer.
Tekanan politik global menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi absennya pembahasan seputar emisi karbon militer. Bahkan kewajiban sektor militer membuat laporan emisi sempat dihapus dari Protokol Kyoto—perjanjian internasional untuk menurunkan gas rumah kaca yang diadopsi pada 1997—karena tekanan Amerika Serikat.
Perjanjian Paris pada 2015 memang mencoba mengatur laporan emisi dari sektor militer. Namun implementasinya masih jauh dari memuaskan. Negara-negara maju masih “suka-suka” untuk melaporkan atau tidak emisi sektor militer serta upaya mitigasinya. Tak ada yang berani memaksa mereka.
Pengecualian militer dari tanggung jawab lingkungan harus dihentikan seiring dengan bahaya pemanasan global yang makin nyata. Bencana alam seperti kekeringan, cuaca ekstrem, dan banjir makin sering terjadi—dengan kerugian ekonomi yang sangat besar. Studi yang diterbitkan di jurnal Nature bahkan memperkirakan kerugian akibat perubahan iklim mencapai US$ 143 miliar per tahun.
Itulah sebabnya pembahasan emisi perang dan sektor militer seharusnya menjadi agenda resmi COP29 di Baku, Azerbaijan. Semua negara peserta konferensi mesti dipaksa melaporkan emisi sektor militer dan upaya mitigasinya. Sebagian negara maju bahkan pantas dituntut membayar ganti rugi atas kerusakan lingkungan akibat aktivitas militernya.
Kita tidak bisa terus menutup mata terhadap kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh perang dan aktivitas militer. Kini saatnya menuntut negara yang memicu perang untuk membayar ganti rugi demi kelestarian bumi. Jika bukan sekarang, kapan lagi?