maaf email atau password anda salah

Satu Akun, Untuk Semua Akses

Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini

Satu Akun, Untuk Semua Akses


Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Satu Akun, Untuk Semua Akses

Masukan alamat email Anda, untuk mereset password

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link reset password melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Ubah No. Telepon

Ubah Kata Sandi

Topik Favorit

Hapus Berita

Apakah Anda yakin akan menghapus berita?

Ubah Data Diri

Jenis Kelamin

Benarkah KPK Menjadi Alat Politik di Sidoarjo

KPK terkesan menjadi alat politik dalam kasus korupsi di Sidoarjo. Perlu melanjutkan penyidikan untuk menghapus kesan itu.

arsip tempo : 171469728649.

Absurditas Penegakan Hukum di Sidoarjo. tempo : 171469728649.

PADA kasus korupsi di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, kita bisa melihat praktik hukum yang absurd. Komisi Pemberantasan Korupsi makin hilang arah. Lembaga yang dibentuk sebagai hasil Reformasi 1998 itu bahkan terkesan menjadi alat penggebuk demi usaha pemenangan pemilihan presiden.

Simbol absurditas itu ada pada Bupati Ahmad Muhdlor Ali. Ia dituduh terlibat dalam pemotongan insentif pegawai yang melibatkan anak buahnya di lingkungan pemerintah Sidoarjo. Komisi antikorupsi menangkap sebelas pegawai pemerintah kabupaten itu dan pihak swasta. Berbeda dengan prosedur standar, lembaga itu baru menetapkan seorang tersangka empat hari setelah operasi penangkapan. Dialah Kepala Subbagian Umum dan Kepegawaian Badan Pelayanan Pajak Daerah (BPPD) Kabupaten Sidoarjo Siska Wati.

Komisi antikorupsi menduga Muhdlor menerima setoran duit melalui orang kepercayaannya. Duit dikumpulkan Siska dari hasil pemotongan 10-30 persen insentif BPPD periode 2023. Jumlahnya Rp 2,7 miliar. Meski begitu, KPK belum menetapkan politikus Partai Kebangkitan Bangsa itu sebagai tersangka. Petugas komisi antirasuah baru menggeledah rumah dinasnya. Pada saat itu penghuni rumah dikabarkan menghilang.

Tepat sehari setelah penggeledahan, Muhdlor muncul di tengah massa kampanye pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Ia berselawat—melantunkan doa dan pujian untuk Nabi Muhammad—serta berorasi menyerukan dukungan untuk pasangan yang disokong terang-terangan oleh Presiden Joko Widodo itu. Sikap politik Sang Bupati berbeda dengan Partai Kebangkitan Bangsa, yang mencalonkan pasangan Anies Rasyid Baswedan-Muhaimin Iskandar.

Tak aneh jika muncul penilaian: Muhdlor berlindung pada koalisi pendukung Prabowo-Gibran. Apalagi berembus pula kabar bahwa sebagian pemimpin partai dipaksa bergabung ke koalisi menggunakan “sandera kasus hukum”. Dengan dukungan rezim beserta sebagian besar perangkatnya, pasangan itu memang banyak diprediksi bakal memenangi pemilihan.

KPK pun seolah-olah menjadi alat untuk menekan buat menaklukkan pengganggu usaha pemenangan. Wilayah Jawa Timur, termasuk Sidoarjo yang memiliki jumlah pemilih hingga 1,4 juta orang, merupakan medan perebutan suara di antara para calon presiden. Bukan kebetulan Bupati Muhdlor berasal dari keluarga pemilik pesantren yang memiliki pengaruh di kawasan itu.

Kesan bahwa KPK hanya menjadi alat politik makin kuat jika lembaga itu kemudian mengalihkan kasus ini ke kepolisian. Dengan model “penegakan hukum” seperti ini—menggunakan tanda kutip karena yang sebenarnya terjadi adalah pelemahan hukum—tak ada harapan bagi publik untuk mendapatkan pemerintahan yang bebas dari korupsi. Sekarang peringkat Indonesia dalam urusan ini terus terperosok, berada di urutan ke-115 dari total 180 negara yang disurvei Transparency International. 

Tak ada jalan bagi KPK untuk menghapus kesan itu selain melanjutkan penyidikan kasus Sidoarjo secara cepat dan tuntas. Para penyidik perlu menelusuri aliran dana pungutan itu secara cermat dan akurat. Jika terlibat, bupatinya harus segera diproses hukum, tak peduli dia kini berada di barisan koalisi pendukung penerus Jokowi. Tanpa langkah itu, KPK akan dicatat sebagai lembaga yang ikut merusak demokrasi.

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Absurditas Penegakan Hukum di Sidoarjo"

Berita Lainnya

Konten Eksklusif Lainnya

  • 28 April 2024

  • 21 April 2024

  • 14 April 2024

  • 7 April 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan