Saatnya Memberlakukan Prinsip Anti-SLAPP
Jaksa penuntut kasus kriminalisasi Fatia-Haris mesti menghentikan upaya kasasi. Mengancam kebebasan berekspresi.
TIM kejaksaan seharusnya mengakhiri upaya kriminalisasi terhadap Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar. Meski hukum acara pidana membolehkan jaksa mengajukan permohonan kasasi, akan lebih berfaedah bila penuntut umum itu menerima saja putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur yang membebaskan dua pembela hak asasi manusia ini.
Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan Fatia, mantan koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, serta Haris, Direktur Eksekutif Lokataru, tidak bersalah dalam kasus pencemaran nama Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan. Meski akhirnya hakim mengetuk vonis bebas, kriminalisasi terhadap Fatia dan Haris telanjur menjadi catatan buruk dalam penegakan hak asasi di negeri ini.
Perkara pencemaran nama yang menjerat Fatia dan Haris sejak awal terkesan dipaksakan masuk pengadilan. Dalam sebuah siniar di YouTube, kedua aktivis hak asasi manusia itu mendiskusikan hasil riset yang menyinggung keterlibatan Luhut dalam bisnis pertambangan emas di Kabupaten Intan Jaya, Papua.
Isu yang dibahas Fatia dan Haris jelas menyangkut kepentingan rakyat banyak dan keberlanjutan lingkungan hidup di Papua. Alih-alih membuat hak jawab untuk mematahkan data Haris-Fatia, Menteri Luhut malah melaporkan keduanya ke polisi. Sejalan dengan tuduhan Luhut, di pengadilan, jaksa mendakwa Fatia dan Haris mencemarkan nama dan menghina menteri senior di kabinet Presiden Joko Widodo itu.
Pendapat Fatia dan Haris sejatinya bagian dari kebebasan berekspresi yang harus dilindungi, bukan malah dikriminalisasi. Tak ada urgensi atau kepentingan negara apa pun untuk meneruskan kasus ini ke pengadilan, apalagi sampai ke tingkat kasasi. Langkah jaksa mengajukan permohonan kasasi justru akan memperkuat kesan bahwa mereka bertindak untuk kepentingan penguasa.
Manuver jaksa menempuh jalur kasasi juga bisa dibaca sebagai strategi lanjutan untuk melemahkan kritik dan partisipasi publik dalam mengontrol penguasa. Padahal, dalam konteks demokrasi, kritik terhadap kebijakan atau tindakan pejabat pemerintah sangat diperlukan.
Jaksa semestinya mempertimbangkan prinsip anti-strategic lawsuit against public participation (SLAPP) dalam hukum lingkungan. Ketentuan itu memberi perlindungan terhadap pembela hak asasi di bidang lingkungan dari kemungkinan pembalasan, seperti kriminalisasi dan gugatan perdata.
Pengabaian jaksa atas ketentuan anti-SLAPP akan membuat masa depan kebebasan berekspresi di negeri ini makin suram. Data Amnesty International Indonesia mengungkapkan setidaknya 535 orang menjadi korban pembungkaman kebebasan berekspresi atas nama Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) selama 2019-2023.
Alih-alih berkeras mengajukan permohonan kasasi, tim jaksa seharusnya menindaklanjuti informasi tentang potensi konflik kepentingan yang melibatkan Luhut—seperti yang disinggung Fatia dan Haris serta tercatat dalam putusan hakim. Lain cerita bila tim jaksa memang sengaja menurunkan derajatnya dari penegak hukum negara menjadi sekadar centeng penguasa.