Bisakah Jokowi Membuat Prabowo-Gibran Menang Satu Putaran?
Jokowi kian kentara mendukung Prabowo-Gibran menang satu putaran. Penyalahgunaan kekuasaan makin besar.
PRESIDEN Joko Widodo kian terbuka mendukung Prabowo Subianto. Tak cuma bergerak di belakang layar, dia turun gelanggang untuk mewujudkan ambisi memenangkan calon presiden yang berpasangan dengan anaknya, Gibran Rakabuming Raka, itu.
Jokowi seperti “juru bicara” Prabowo-Gibran setelah debat kedua calon presiden pada 7 Januari 2024. Ia meminta Komisi Pemilihan Umum mengubah format debat agar lebih berfokus pada visi dan misi, tak menyerang personal. Jokowi membela Prabowo yang keteteran menjawab pertanyaan rivalnya, Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo, dalam debat bertema pertahanan, keamanan, hubungan internasional, dan geopolitik—topik yang semestinya dikuasai Prabowo sebagai Menteri Pertahanan.
Prabowo kalah telak. Dia kedodoran menjawab soal tidak optimalnya penggunaan anggaran Kementerian Pertahanan Rp 134 triliun pada 2023, yang sebagian dipakai untuk pembelian pesawat tempur bekas. Ia juga tak bisa menjawab pertanyaan Ganjar tentang capaian target minimal kekuatan militer Indonesia.
Usul Jokowi agar pertanyaan debat tidak menyangkut pribadi calon presiden jelas mengada-ada. Dalam debat politik, menyoal masalah personal hal yang wajar. Sebab, presiden adalah jabatan publik. Para kandidat harus siap dikuliti isi pikiran dan kebijakannya di depan publik. Bahkan kekayaan dan potensi penyimpangan sebelum berkuasa bisa pula menjadi bahan debat.
Jokowi lupa ia juga menyerang hal “personal” ketika berdebat dengan Prabowo pada Pemilu 2019. Ketika itu Jokowi menyindir Prabowo dengan menyebut dirinya bukan seorang yang otoriter, tidak korup, dan tak melanggar hak asasi manusia. Prabowo, kita tahu, dipecat dari dinas militer karena memimpin tim yang menculik para aktivis prodemokrasi pada 1998.
Jokowi tampaknya kepalang basah sehingga ia terang-terangan tak netral dalam pemilihan presiden, yang melanggar konstitusi. Sebab, jika Prabowo dan anaknya gagal menjadi presiden dan wakil presiden, Jokowi akan kehilangan posisi tawar politik setelah Pemilu 2024. Ia tak bisa mengharap perlindungan politik kepada dua kandidat lain, Anies Baswedan atau Ganjar Pranowo.
Jika menang, Anies atau Ganjar mungkin merangkul partai-partai pendukung Prabowo, tapi tak mengajak Jokowi. Satu-satunya cantelan Jokowi adalah Partai Solidaritas Indonesia, yang kini dipimpin adik Gibran, Kaesang Pangarep, tapi belum tentu masuk Dewan Perwakilan Rakyat. Sebagai penanggung jawab pelbagai kebijakan yang berpotensi melanggar hukum selama 10 tahun berkuasa, Jokowi berada di ujung tanduk.
Ambisi keblinger memenangkan Prabowo-Gibran berwujud mimpi pasangan ini menang satu putaran. Tapi, sebulan sebelum hari pencoblosan, elektabilitas Prabowo-Gibran tak kunjung menyentuh separuh pemilih.
Dalam sigi Indikator Politik Indonesia pada Desember 2023, perolehan suara tiga kandidat tak bergerak signifikan. Prabowo-Gibran mandek di angka 46 persen, Ganjar Pranowo 25 persen, dan Anies Baswedan 21 persen. Jika angka itu bisa dipercaya, sulit bagi Prabowo menang satu putaran.
Perolehan suara Prabowo itu adalah angka “tradisional” yang didapatnya dalam dua pemilu lalu. Pada 2019, Prabowo mendapat 44,5 persen suara, turun dari Pemilu 2014 sebesar 46,8 persen. Dengan begitu, Prabowo tak mendapatkan suara tambahan meski berpasangan dengan Gibran dengan segala keistimewaannya sebagai anak presiden.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyebutkan, untuk menang satu putaran, kandidat harus mendapatkan suara lebih dari 50 persen plus sedikitnya 20 persen suara di tiap provinsi di lebih dari separuh jumlah pemerintahan tingkat I. Dengan demikian, upaya Jokowi memenangkan Prabowo, setidaknya sampai sigi terakhir, belum membuahkan hasil.
Jika terus tak netral demi memenangkan Prabowo dan anaknya, Jokowi akan menderita dua kerugian. Pertama, dalam putaran kedua Juni 2024, perolehan suara Prabowo bisa melorot akibat kemarahan publik terhadap ketidaknetralan kepala negara. Kedua, Jokowi akan dikenang sebagai presiden terburuk setelah Reformasi. Untuk dua hal ini, Jokowi akan terhina sebagai keset sejarah.