maaf email atau password anda salah

Satu Akun, Untuk Semua Akses

Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini

Satu Akun, Untuk Semua Akses


Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Satu Akun, Untuk Semua Akses

Masukan alamat email Anda, untuk mereset password

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link reset password melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Ubah No. Telepon

Ubah Kata Sandi

Topik Favorit

Hapus Berita

Apakah Anda yakin akan menghapus berita?

Ubah Data Diri

Jenis Kelamin

Siapa Berdusta dalam Pelemahan KPK: Jokowi atau Agus Rahardjo


Presiden Jokowi dan mantan Ketua KPK, Agus Rahardjo, berbantah soal penanganan perkara e-KTP. Bukti nyata pelemahan KPK.

arsip tempo : 173058329948.

Korupsi Bukan Oli Pembangunan. tempo : 173058329948.

DALAM hal melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi, Presiden Joko Widodo memang jagonya. Berkali-kali pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat berusaha merevisi Undang-Undang KPK sejak 2010, baru pada akhir periode pertama pemerintahannya usaha itu berhasil. Hanya dibahas dua pekan, perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 disahkan DPR pada 17 September 2019 dengan mengabaikan penolakan publik yang masif.

Sejak saat itu, independensi KPK hilang. Lembaga ini berada di bawah presiden dengan anggota Dewan Pengawas KPK dipilih oleh kepala pemerintahan. Para penyidiknya pun menjadi aparatur sipil negara. Pengajuan Firli Bahuri sebagai calon Ketua KPK makin membuktikan pelemahan itu. Dia adalah jenderal polisi yang banyak melakukan pelanggaran etik saat menjabat Deputi Penindakan KPK selama 2018-2019.

Sesungguhnya, keinginan melemahkan KPK datang dari Jokowi sendiri. Ia menganggap KPK terlalu kuat sehingga mengganggu pembangunan. Menurut dia, banyak program kepala daerah macet karena gerak-gerik mereka diawasi KPK. Pada waktu itu Komisi baru saja menetapkan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf sebagai tersangka korupsi proyek infrastruktur yang memakai dana otonomi khusus.

Sikap Jokowi menolak mempertahankan independensi KPK hari-hari ini menjadi penting di tengah kontroversi pernyataan Ketua KPK 2015-2019, Agus Rahardjo. Dalam wawancara dengan Kompas TV, Agus mengaku pernah diminta Jokowi menghentikan penyidikan korupsi pengadaan KTP elektronik (e-KTP) yang menjerat Ketua DPR Setya Novanto. Menjelang pemilihan presiden 2019, Jokowi tengah membangun koalisi dengan Partai Golkar yang kala itu dipimpin Setya. 

Permintaan Jokowi itu membuktikan bahwa Presiden telah bergerak melemahkan Komisi jauh sebelum Undang-Undang KPK direvisi. Untuk memperkuat koalisi pemerintahannya, Jokowi rela membiarkan korupsi merajalela. 

Pembangunanisme Jokowi mengantarkannya pada hipotesis sungsang: makin ketat pembangunan dijaga dari para maling, makin tertatih-tatih roda pembangunan. Jokowi tampaknya setuju pada adagium para politikus bahwa korupsi adalah oli pembangunan.

Analisis lain menyebutkan Presiden sedang memberi gula-gula agar DPR menyetujui usul pemerintah membentuk Undang-Undang Cipta Kerja. Aturan ini mengoreksi sejumlah undang-undang yang dianggap birokratis sehingga menyulitkan investasi. Disahkan DPR pada Oktober 2020, Undang-Undang Cipta Kerja secara brutal mengabaikan tata kelola, termasuk peraturan yang menjaga lingkungan, atas nama pembangunan.

Dalam banyak wawancara dengan media di awal periode kedua pemerintahannya pada 2020, Jokowi mengatakan akan memprioritaskan pembangunan melalui investasi seraya menomorduakan perlindungan lingkungan dan hak asasi manusia. Omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja adalah cara Jokowi mewujudkan keinginannya itu.

Dengan kata lain, argumentasi itu memperkuat fakta bahwa pembangunanisme Jokowi adalah biang keladi pelemahan KPK. “Keladi” lain adalah kepentingan politikus DPR. Selama 20 tahun usia KPK, lembaga ini mengungkap 344 kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR—terbanyak ketiga setelah pengusaha dan pejabat pemerintah.

Kekuasaan, tulis sejarawan Inggris, Lord Acton, dalam suratnya kepada Gereja Katolik Roma pada 1887, cenderung korup. Karena itu, kekuasaan—di tangan Jokowi atau bukan—cenderung tak suka pada pemberantasan korupsi. Kini nasi sudah basi dan tak sekadar menjadi bubur. Ke depan, penguatan kembali KPK membutuhkan kerja keras yang tak mudah. 

Soal pemberantasan korupsi, tiga kandidat presiden 2024-2029 baru sekadar menanam tebu di bibir. Disokong partai politik yang punya rekam jejak buruk dalam pemberantasan korupsi, siapa pun yang terpilih dalam pemilihan tahun depan tak akan bisa berbuat banyak. Pembiayaan politik yang kotor dan tak transparan juga akan menyandera mereka setelah nanti terpilih. 

Yang menyedihkan bukan tak mungkin terjadi: diam-diam presiden terpilih berterima kasih kepada Jokowi karena telah melempangkan jalan bagi penguatan korupsi.

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Korupsi Bukan Oli Pembangunan"

Berita Lainnya

Konten Eksklusif Lainnya

  • 27 Oktober 2024

  • 20 Oktober 2024

  • 13 Oktober 2024

  • 6 Oktober 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan