maaf email atau password anda salah

Satu Akun, Untuk Semua Akses

Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini

Satu Akun, Untuk Semua Akses


Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Satu Akun, Untuk Semua Akses

Masukan alamat email Anda, untuk mereset password

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link reset password melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Ubah No. Telepon

Ubah Kata Sandi

Topik Favorit

Hapus Berita

Apakah Anda yakin akan menghapus berita?

Ubah Data Diri

Jenis Kelamin

Anwar Usman dan Skandal Mahkamah Konstitusi

Putusan Mahkamah Konstitusi yang menguntungkan Gibran Rakabuming Raka sarat konflik kepentingan. Majelis Kehormatan harus memecat Anwar Usman.

arsip tempo : 171455588660.

Mahkamah yang Kehilangan Muruah. tempo : 171455588660.

PUTUSAN Mahkamah Konstitusi yang membuka jalan bagi anak Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, menjadi calon wakil presiden mempertontonkan rusaknya sistem hukum kita. Di lembaga yang semestinya menjadi penjaga konstitusi itu, Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman melakukan segala cara agar keponakannya bisa berlaga dalam pemilihan presiden 2024. 

Hakim konstitusi menerima gugatan Almas Tsaqibbirru Re A agar Mahkamah Konstitusi mengubah Pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilu yang mengatur usia minimal calon presiden dan wakil presiden 40 tahun dengan menambahkan klausa “atau berpengalaman sebagai kepala daerah, baik tingkat provinsi maupun kabupaten-kota”. Pengabulan tuntutan ini membuat Gibran yang baru berusia 36 tahun bisa menjadi kandidat di Pemilu 2024 karena menjabat Wali Kota Solo.

Almas tidak memiliki alasan legal menguji pasal tersebut. Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surakarta ini tak punya kaitan dengan isi permohonannya. Kalaupun gugatannya ditolak, ia tidak memiliki kerugian konstitusional. Modalnya hanya klaim sebagai pengagum Gibran.

Hakim konstitusi seharusnya menolak gugatan itu. Apalagi hakim sudah menolak mengadili gugatan usia minimal calon presiden dan wakil presiden. Dalam banyak kasus sebelumnya, hakim konstitusi sangat ketat memeriksa legal standing pemohon—termasuk menolak gugatan bila mereka tidak punya posisi hukum yang jelas. Untuk gugatan Almas, para hakim langsung memprosesnya.

Apalagi kuasa hukum Almas mencabut permohonan pada 29 September 2023, lalu pemohon membatalkan pencabutan itu esoknya. Dari sini kita bisa menilai penggugat tidak serius mengajukan permohonan. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang tegas mengatur permohonan yang sudah ditarik tidak bisa diajukan kembali. Bukannya menerbitkan penetapan pencabutan permohonan, Mahkamah Konstitusi malah memundurkan tanggal pencatatan pembatalan pencabutan perkara.

Benturan konflik kepentingan sudah terlihat jauh sebelum putusan dibacakan pada 16 Oktober 2023. Pada 9 September lalu, dalam kuliah umum di Universitas Islam Sultan Agung, Semarang, Anwar Usman membahas pentingnya sosok pemimpin muda. Pernyataan Anwar di depan mahasiswa baru itu mengindikasikan pandangannya mengenai perkara yang tengah diproses oleh Mahkamah Konstitusi.

Apa yang dilakukan Anwar Usman jelas melanggar kode etik. Pasal 17 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman juga mengharuskan hakim konstitusi tak ikut memeriksa perkara bila ia dan keluarganya punya kepentingan atas putusan itu. Tak hanya ikut memberikan putusan, Anwar Usman juga diduga berusaha mempengaruhi hakim lain agar mengabulkan gugatan tersebut.

Dalam amar putusan, hakim konstitusi menambahkan klausa “pernah atau sedang menduduki jabatan melalui pemilu, termasuk pemilihan kepala daerah” pada Pasal 169 UU Pemilu itu. Padahal klausa ini tak tertera dalam naskah gugatan. Tindakan hakim konstitusi ini jelas melampaui kewenangan karena bertindak seperti anggota legislatif.

Apa yang dilakukan para hakim konstitusi menabrak prinsip independensi, integritas, kepantasan, dan kecakapan, sejalan dengan studi komparatif Tom Ginsburg (2018). Ginsburg menemukan pembalikan demokrasi di banyak negara terjadi karena pembajakan terhadap pengadilan konstitusi. Caranya mengendalikan komposisi hakim, dari proses penunjukan hingga penggantiannya. Pembajakan terhadap Mahkamah Konstitusi Indonesia dimulai saat Dewan Perwakilan Rakyat mencopot hakim Aswanto karena ia acap menganulir undang-undang yang disahkan DPR. 


Baca liputannya:


Dengan pembajakan ini, sulit membayangkan Mahkamah Konstitusi menjadi wasit yang adil dalam menyelesaikan sengketa Pemilu 2024. Ibarat pertandingan sepak bola, hakim konstitusi telah menjadi pemain ke-12 yang berpihak. 

Untuk mencegah krisis berlanjut, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi harus menggelar sidang etik mengusut dugaan pelanggaran para hakim, termasuk Anwar Usman. Meski tidak menggugurkan putusan, Majelis Kehormatan bisa memecatnya. Bersih-bersih ini penting untuk mengembalikan muruah Mahkamah Konstitusi sekaligus mencegah kemunduran demokrasi.

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Mahkamah yang Kehilangan Muruah"

Berita Lainnya

Konten Eksklusif Lainnya

  • 28 April 2024

  • 21 April 2024

  • 14 April 2024

  • 7 April 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan