maaf email atau password anda salah

Satu Akun, Untuk Semua Akses

Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini

Satu Akun, Untuk Semua Akses


Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Satu Akun, Untuk Semua Akses

Masukan alamat email Anda, untuk mereset password

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link reset password melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Ubah No. Telepon

Ubah Kata Sandi

Topik Favorit

Hapus Berita

Apakah Anda yakin akan menghapus berita?

Ubah Data Diri

Jenis Kelamin

Jika Satelit Elon Musk Mendapat Keistimewaan

Starlink menawarkan Internet cepat dan harga murah. Pemerintah harus menjaga kedaulatan regulasi dan keadilan bisnis. 

arsip tempo : 171429402978.

Pemanis Satelit Elon MuskĀ . tempo : 171429402978.

RENCANA pemerintah mengizinkan satelit telekomunikasi Starlink beroperasi di Indonesia tidak semestinya mengorbankan kedaulatan regulasi dan bisnis sektor telekomunikasi. Perlu ada pengatur­an yang jelas agar kebijakan tersebut tidak mendatangkan mudarat bagi industri telekomunikasi Tanah Air.

Kementerian Komunikasi dan Informatika telah memberikan hak labuh (landing rights) kepada SpaceX, perusahaan miliarder Elon Musk, pemilik Starlink, yang bekerja sama dengan PT Telkom Satelit Indonesia (Telkomsat) sejak 2022. Dengan izin tersebut, SpaceX bisa menjual kapasitas satelitnya, antara lain kepada Telkomsat, untuk memenuhi kebutuhan pita penerus jaring­an Internet dari backbone ke bagian pinggir (back­haul).

Starlink memang menawarkan teknologi canggih de­ngan harga murah. Satelit tersebut bisa menjangkau daerah pelosok, termasuk wilayah yang selama ini belum mendapat akses Internet dari penyedia layan­an yang ada.

Sebenarnya industri telekomunikasi Indonesia telah lama meng­gunakan satelit. Saat ini beroperasi satelit milik Telkom dan BRI serta beberapa lainnya. Satelit itu meng­hu­bungkan satu titik di satu daerah yang belum memiliki infra­struktur fiber optik dan stasiun pemancar (base transceiver station  atau BTS) dengan daerah lain. 

Starlink berbeda dengan satelit-satelit yang beroperasi di Indonesia sekarang. Starlink mengorbit di tiga level ketinggian yang rendah dibanding satelit yang beroperasi di Indonesia. Jum­lahnya pun lebih banyak dan bisa saja di atas langit Indonesia akan ada puluhan satelit Starlink.

Tentu dimensi teknologi satelit dengan jumlah yang banyak juga akan makin terbuka. Starlink, yang bisa berfungsi seperti BTS seluler, memiliki daya pancar jauh lebih luas sampai ke pedalaman, mengalahkan menara pemancar yang hanya menjangkau daerah dalam radius 2-3 kilometer. 

Walhasil, dari sisi teknologi dan kemudahan akses, Starlink akan mematikan bisnis satelit yang sudah ada. Jika hal ini terjadi, sama saja pemerintah membiarkan perusahaan yang telah berinvestasi puluhan tahun, dan taat pada regulasi, gulung tikar karena pemberian privilese tersebut.

Kekhawatiran itu bertambah karena tersiar kabar adanya per­mintaan Elon Musk agar Starlink bisa mengakses langsung konsumen tanpa melalui mitra lokal dengan iming-iming biaya murah. Kehadiran teknologi dengan harga murah tentu baik bagi konsumen. Tapi, sebagai regulator, pemerintah harus bijak menimbang mudarat yang akan muncul terhadap industri telekomunikasi. 


Baca liputannya:


Bukan hanya itu, monopoli Starlink juga mengan­dung risiko aspek keamanan. Mungkin saja ada penduduk di satu daerah yang bisa sangat leluasa mengakses Internet tanpa dikendalikan pemerintah. Ini bukan soal demokrasi, hak asasi, ataupun kesetaraan untuk memperoleh akses data, melainkan masalah manajemen risiko keamanan sebuah negara, yang bila tidak dikelola dengan benar akan menjadi persoalan serius di kemudian hari.

Sudah selayaknya pemerintah mengkaji ulang pemberian hak istimewa bagi Starlink. Apalagi jika pemberian hak itu sekadar “pemanis” agar Elon Musk luluh dan bersedia membangun pabrik mobil listrik Tesla di Indonesia setelah bolak-balik pemerintah Indoensia menawarkannya. Barter itu akan menjadi harga yang tak sebanding de­ngan runtuhnya kedaulatan negara dalam mengatur sistem te­lekomunikasi dan kehancuran industri dalam negeri.

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Pemanis Satelit Elon Musk"

Berita Lainnya

Konten Eksklusif Lainnya

  • 28 April 2024

  • 21 April 2024

  • 14 April 2024

  • 7 April 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan