maaf email atau password anda salah

Satu Akun, Untuk Semua Akses

Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini

Satu Akun, Untuk Semua Akses


Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Satu Akun, Untuk Semua Akses

Masukan alamat email Anda, untuk mereset password

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link reset password melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Ubah No. Telepon

Ubah Kata Sandi

Topik Favorit

Hapus Berita

Apakah Anda yakin akan menghapus berita?

Ubah Data Diri

Jenis Kelamin

Bibit Intoleransi dalam Aturan Pendirian Rumah Ibadah

Presiden Jokowi akan meneken aturan baru pendirian rumah ibadah. Bisa menyuburkan bibit intoleransi.

arsip tempo : 171500443875.

Kian Susah Membangun Rumah Ibadah. tempo : 171500443875.

PEMERINTAHAN Presiden Joko Widodo terus mempersulit pendirian rumah ibadah. Bu­kan­nya mencabut peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tahun 2006 yang restriktif, Jokowi kini akan menandatangani Rancangan Peraturan Presiden tentang Pemeliharaan Keru­kunan Umat Beragama yang substansinya juga kebablasan. Jika draf itu lolos, kaum minoritas bisa jadi bakal lebih sulit memiliki rumah ibadah.

Draf tersebut, misalnya, masih mempertahankan syarat 90/60 yang tidak jelas asal-muasalnya. Dibutuhkan 90 tanda tangan pemeluk agama di satu kelurahan yang ingin mendirikan rumah ibadah serta 60 penduduk di kelurahan yang sama untuk meneken surat persetujuan. Syarat itu kerap menjegal proposal pendirian tempat sembahyang. Padahal hidup beragama, juga memiliki rumah ibadah, adalah hak setiap individu. Negara seharusnya memfasilitasi, bukan malah menihilkan hak tersebut.

Aturan pada draf juga tak mengeliminasi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Bahkan FKUB—yang salah satu tugasnya merekomendasikan pendirian rumah ibadah—dibentuk pula di tingkat pusat. Hasil studi Pusat Studi Agama dan Demokrasi Yayasan Wakaf Paramadina pada 2020 menunjukkan kegiatan FKUB sering bersifat seremonial dan tak efektif memberikan rekomendasi. Dalam praktiknya, lembaga itu justru kerap ikut-ikutan menolak pendirian rumah ibadah.

Setelah 17 tahun berlaku, peraturan bersama dua menteri tak terbukti mampu memperjuangkan hak minoritas untuk beribadah. Hingga kini, misalnya, di Kota Cilegon, Banten, tak ada satu pun gereja, wihara, ataupun pura berdiri. Sementara itu, berdasarkan catatan Kementerian Agama pada 2019, ada 382 masjid dan 287 musala di sana. Lebih dari 8.000 pemeluk Kristen di Cilegon yang ingin beribadah harus melaju ke daerah lain yang memiliki gereja.

Di wilayah seperti Cilegon, bibit intoleransi tumbuh subur. Pada 2022, Setara Institute menobatkan Cilegon sebagai kota paling intoleran se-Indonesia. Namun intoleransi justru menjadi dagangan politik para pejabat. Ketika masyarakat menolak pen­dirian Gereja HKBP Maranatha pada tahun lalu, kepala daerah hingga anggota dan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Cilegon ikut meneken petisi penolakan. FKUB pun mengeluarkan re­komendasi agar tak ada gereja di daerah ini. Para pejabat yang menghalangi pendirian rumah ibadah itu tak mendapat sanksi apa pun. 

Dengan berbagai kelemahannya, draf aturan keru­kunan beragama yang kini berada di meja Presiden Jokowi akan terus membuka ruang persekusi oleh kelompok mayoritas. Untuk meluruskan konteks, kelompok mayoritas di beberapa daerah beragama nonmuslim. Mimpi lebih buruk bisa dialami para penghayat kepercayaan yang tak termaktub di dalam aturan itu. Setiap saat mereka bisa saja terusir karena beribadah di sanggar yang tak masuk kategori rumah ibadah.


Baca liputannya:


Aturan anyar yang akan diteken Presiden Jokowi tak bisa memberikan rasa aman untuk beribadah bagi para pemeluk kepercayaan. Daripada menambah persoalan baru, Jokowi lebih baik mencabut pangkal persoalan pendirian rumah ibadah, yakni peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tahun 2006. 

Hampir dua periode penuh berkuasa, Jokowi terus membiarkan aturan itu berlaku. Jika ia punya nyali mencabut aturan tersebut, sebenarnya, ia bisa meninggalkan warisan yang nyata untuk kehidupan beragama di negeri ini.

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Kian Susah Membangun Rumah Ibadah"

Berita Lainnya

Konten Eksklusif Lainnya

  • 5 Mei 2024

  • 28 April 2024

  • 21 April 2024

  • 14 April 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan